Pajak Incar Korporasi Penyumbang Karbon

Perusahaan penyumbang emisi karbon tinggi akan dikenakan tambahan setoran pajak

JAKARTA. Rencana pemerintah mencari cerukan sumber penerimaan pajak tak main-main. Nyaris, semua lini disigi. Selai akan mengerek tarif pajak penghasilan orang super kaya, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Kementerian Keuangan juga menyiapkan pemajakan emisi karbon alias carbon tax.

Rencana kebijakan ini tertuang di Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2022. Ada tiga alternatif skema pajak karbon ini. Pertama, menggunakan instrumen yang sudah ada.

Instrumen pemerintah pusat berupa cukai, pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak pertambahan nilai atas barang mewah (PPnBM), atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kedua, menggunakan daerah, seperti pajak kendaraan bermotor (PKB) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Ketiga, memunculkan instrumen baru, yaitu pajak karbon. Cara ini bisa dilakukan lewat revisi Undang-Undang (UU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Pajak karbon akan dikenakan berdasarkan jumlah emisi yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi, atau dikenakan atas objek sumber emisi. Di negara lain, pajak karbon dikenakan pada bahan bakar fosil melihat potensi emisi yang ditimbulkan pengguna.

Jepang, Singapura, Prancis, dan Chile mengenakan pajak karbon dengan rentang tarif yang dikenakan antara US$ 3 hingga US$ 49 per ton CO2e

Nah, objek potensial yang bisa dikenakan pajak karbon di Indonesia adalah bahan bakar fosil dan emisi yang dikeluarkan pabrik atau kendaraan bermotor. Artinya pajak ini dikenakan ke pengguna bahan bakar dengan kandungan karbon tinggi seperti batubara, solar, dan bensin.

Sementara untuk pengenaan emisi atas kegiatan ekonomi, pemerintah bisa berfokus pada sektor padat karbon seperti industri pulp and paper, semen, pembangkit listrik, juga petrokimia.

Memberatkan investasi

Darussalam, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) menilai, penerapan pajak karbon ini cocok bagi Indonesia. Pertama, kebijakan ini direkomendasikan International Montary Fund (IMF) dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Menurut OECD, di tengah tekanan penerimaan pajak akibat pandemi, pajak karbon bisa jadi salah satu opsi sumber penerimaan negara. “Jika didesain ideal, tidak terlalu mendistorsi proses pemulihan ekonomi,” tandas Darussalam, Minggu (23/5).

Kedua, pajak karbon berorientasi bagi mitigasi perubahan iklim dan menjadi instrumen untuk melindungi lingkungan. Ketiga, sudah banyak negara yang menerapkan pajak karbon, setidaknya 25 negara, seperti Kanada, Ukraina, Jepang, Prancis, Chili, dan berhasil mengurangi emisi karbon.

Beda dengan Darussalam, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai, pajak karbon belum perlu diterapkan negara berkembang dan negara yang masih membutuhkan investasi asing langsung seperti Indonesia. “Investor akan merasa mahal berinvestasi di Indonesia sehingga bisa saja mereka keluar dari Indonesia,” ujarnya. Kata dia, pemerintah perlu memikirkan alternatif bahan bakar untuk meringankan pengenaan pajak karbon.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Hipmi Ajib minta pemerintah menangguhkan kebijakan ini sampai ekonomi Indonesia benar-benar pulih dari dampak Covid-19, seperti lewat akhir tahun 2022.

Ia khawatir kebijakan ini bakal memberatkan banyak pihak. “Tidak hanya pengusaha yang akan diberatkan, karena tambahan pengeluaran ini ujungnya juga akan berimbas pada hampir semua lapisan masyarakat,” tandas Ajib memberi alasan.

Sumber: Harian Kontan, Senin 24 Mei 2021 hal 1

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only