Jakarta, Beritasatu.com – Sebanyak 14 asosiasi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) meminta pemerintah dan DPR agar tidak mengabaikan aspirasi pelaku UMKM dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Mewakili 14 asosiasi UMKM tersebut, Ketua Umum Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional (Komnas UKM) Sutrisno Iwantono melihat pemerintah dan DPR tidak peka terhadap keadaan UKM.
“RUU KUP yang sedang dibahas tidak lebih baik dari yang dulu, khususnya dari kepentingan UMK. Padahal hal itu diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil khususnya Pasal 124 yang merupakan turunan Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Sutrisno Iwantono dalam konferensi pers secara daring, Rabu (22/9/2021).
Dalam peraturan pemerintah yang menjadi aturan turunan UU Cipta Kerja, UMK diberi kemudahan atau penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. UMK tertentu juga dapat diberikan insentif pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
Namun, RUU-KUP ternyata bertolak belakang dengan amanat Undang-Undang tersebut. Sebagai contoh, dalam RUU KUP, pemerintah berencana untuk menerapkan pajak penghasilan minimum sebesar 1% dari peredaran bruto. Asosiasi UMKM mengusulkan ketentuan ini tidak diberlakukan bagi UMK.
“Kami meminta UMK tetap dikenakan pajak final sebesar 0,5% dari penjualan atau omzset bruto tahunan, bahkan untuk usaha mikro sementara ini 0% dengan bercermin dari negara lain atau dengan alternatif pilihan dikenai PPh sesuai Pasal 31 e Undang-Undang Pph, sehingga kami sangat keberatan apabila Pasal 31 e akan dihapuskan dalam RUU KUP yang saat ini sedang dibahas,” papar Iwantono.
Usulan lainnya adalah besarnya penjualan omset bruto tahunan dinaikan dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 15 miliar, agar selaras dengan kriteria Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Apalagi angka Rp 4,8 miliar sudah berlangsung hampir 10 tahun sehingga diperlukan penyesuaian akibat inflasi dan perkembangan ekonomi.
Ketua Komunitas UMKM Naik Kelas Raden Tedy juga menyampaikan, mayoritas pelaku UMKM di Indonesia berpendidikan rendah, di mana lebih dari 71% tidak mengerti dan tidak membuat laporan keuangan. Selain itu, 99,6% pelaku UMKM adalah usaha mikro yang karakteristik usahanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, bermodal kecil, banyak menampung pengangguran, serta rawan bangkrut.
“Terakit dengan RUU KUP, hal ini sangat merisaukan pelaku UMKM, terutama usaha mikro yang mendominasi. Kami menolak RUU ini yang akan menyulitkan kawan-kawan UMKM yang seharusnya mendapatkan lebih banyak binaan dan insentif,” kata Tedy.
14 asosiasi yang menyatakan menolak RUU KUP tersebut yakni Komnas UKM, Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Himpunan Usaha Mikro Kecil Indonesia (Hipmikindo), Apindo Bidang UKM, Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies (Asita), UKMIndonesia.id, Komunitas UMKM Naik Kelas, ASMI Women Empowerment, Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkopas), Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (APPI), Pusat Koperasi Karyawan DKI Jakarta (Puskopkar) DKI Jakarta, Puskoppas DKI Jakarta, Jaringan Startup Bandung, dan Komunitas Restoran Jakarta.
Sumber: beritasatu.com, Rabu 22 September 2021
Leave a Reply