Mengejar Keseimbangan Pajak

Kendati diproyeksikan mampu memenuhi target rasio pajak atau tax ratio pada tahun ini, pemerintah tetap menghadapi tantangan berat untuk mewujudkan keseimbangan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto atau PDB.

Tantangan ini tecermin dari data Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

Dalam laporannya, OECD menyatakan bahwa rasio pajak Indonesia merupakan yang terendah ketiga se-Asia Pasifik disusul oleh Bhutan dan Laos.

Dalam laporan berjudul Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2021, rasio pajak Indonesia pada 2019 lalu hanya 11,6% terhadap PDB, jauh di bawah rata-rata OECD yang sebesar 33,8%.

Laporan itu menggunakan acuan pada 2019 dengan asumsi ekonomi berlangsung tanpa rintangan atau sebelum ter-jadinya badai virus Corona di seluruh dunia.

Tantangan yang membayang di pelupuk mata itu disadari benar oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor. Namun, dia optimistis target rasio pajak bakal tercapai.

Optimisme itu berpijak pada data rasio pajak pada paruh pertama tahun ini cukup positif, yakni 8,96%, atau meningkat sebesar 0,54% dibandingkan dengan periode yang sama 2020.

“Ini [capaian] merupakan sinyal yang baik mengingat program pemulihan ekonomi nasional masih berlangsung dan insentif pajak yang terkait dengan penanganan Covid-19 masih diberikan,” katanya kepada Bisnis, Senin (27/9).

Namun, dia tidak menafikan bahwa sepanjang 2020 kinerja penerimaan pajak tekor lantaran terhantam gelombang pandemi Covid-19.

Dengan kata lain, pertumbuhan rasio pajak juga didukung oleh faktor data pembanding yang cukup rendah.

Terlepas dari berbagai faktor tersebut, Neil yakin pada tahun ini pemerintah mampu menggenjot kinerja pajak yang tecermin di dalam tax ratio karena tren pemulihan ekonomi pasca-Covid 19, dan mulai membaiknya harga komoditas utama dunia.

Tax ratio menjadi penting karena merupakan perbandingan antara penerimaan perpajakan dan produk domestik bruto (PDB).

Artinya, rasio pajak dapat menggambarkan kemampuan negara untuk menarik pajak dari penghasilan tahunan.

Optimisme perbaikan rasio pajak, imbuh Neil, makin terlihat pada semester II/2021 yang didorong oleh peningkatan aktivitas perdagangan internasional, stabilnya harga komoditas dunia, dan pengurangan sektor penerima insentif.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak per 31 Agustus 2021 mencapai Rp741,3 triliun, naik sebesar 9,5% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Jenis pajak yang mencatatkan pertumbuhan signifikan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor yang per akhir bulan lalu melonjak 24%.

Peningkatan tersebut dipicu oleh aktivitas manufaktur yang mulai normal dan kembali mengimpor bahan baku. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan yang dilakukan Bisnis, estimasi rasio pajak pada tahun ini hanya sebesar 7,99%.

Angka ini diperoleh dengan menggunakan asumsi penerimaan pajak nonmigas pada tahun ini senilai Rp1.278,89 triliun sebagaimana tertuang di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022.

Adapun, outlook total penerimaan pajak dalam negeri pada 2021 mencapai Rp1.324,66 triliun.

Nonmigas digunakan sebagai acuan karena menggambarkan potret dari keberhasilan pemerintah dalam memungut pajak.

Sementara itu, pajak dari sektor minyak dan gas (migas) cukup fluktuatif lantaran tergantung pada pergerakan harga di pasar global dan nilai tukar rupiah.

Sementara itu, pemerintah menargetkan rasio pajak pada tahun ini berada di kisaran 8,25%—8,63%. Angka tersebut ditetapkan dengan memasukkan penerimaan dari sektor migas.

Ketidakseimbangan antara penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi juga tecermin di dalam angka tax buoyancy yang hanya 0,69 pada semester I/2021.

Artinya, setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya berkontribusi pada pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 0,69%.

Idealnya, tax buoyancy adalah 1 sehingga menggambarkan elastisitas penerimaan pajak terhadap perkembangan ekonomi terkini.

Angka tax buoyancy di bawah 1 mengakibatkan tren penurunan rasio pajak karena pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan penerimaan pajak.

Neil menegaskan bahwa pemerin-tah tetap optimistis terhadap pencapaian rasio pajak. Artinya, rasio pajak memberi gambaran tentang kemampuan negara menarik pajak dari penghasilan tahunan.

Optimisme ini dibarengi dengan menetapkan strategi meningkatkan pengawasan dan melakukan eksten-sifi kasi perpajakan untuk memperluas basis pajak.

ANTISIPASI RISIKO

Sementara itu, Pakar Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, realisasi penerimaan pajak yang cukup positif per Agustus lalu mengindikasikan bahwa pemulihan penerimaan pajak sudah kembali ke pola normal sehingga target rasio pajak bakal terealisasi.

Meskipun demikian, Bawono memprediksi tingkat rasio pajak Indonesia hanya akan berkutat pada kisaran 8%. “Pola tax ratio di kisaran 8% ini bakal bertahan selama 2—3 tahun ke depan, selama tidak terdapat terobosan kebijakan yang signifi kan,” katanya.

Bawono menjelaskan, rasio pajak pascakrisis umumnya tidak akan kembali ke titik prakrisis dalam waktu cepat.

Pasalnya, pemulihan ekonomi yang tecermin di dalam PDB biasanya tumbuh lebih besar dan lebih cepat dibandingkan dengan pemulihan penerimaan pajak.

Senada, Pemerhati Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menuturkan, secara alamiah elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penerimaan pajak sangat buruk pascakrisis.

Namun, jika pemerintah mampu mengantisipasi risiko pada sisa tahun ini maka rasio pajak dan tax buoyancy berisiko meningkat.

“Prediksi kami dulu buoyancy ratio tahun ini akan kurang dari 1. Namun, dengan perbaikan kinerja bisa diperkirakan angka buoyancy ratio lebih dari 1 selama ketidakpastian ekonomi tertangani,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan pencapaian target rasio pajak tergantung pada penanganan pandemi dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiat-an Masyarakat.

“Pajak itu kan mengikuti pertumbuhan ekonomi. Kalau pandemi dapat diatasi maka pertumbuhan kembali normal atau bahkan bisa lebih tinggi lagi,” tuturnya singkat.

Sumber: ortax.org (Harian Bisnis Indonesia), Selasa 28 September 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only