Keuntungan Konsensus Pajak Global untuk Negara Berkembang Tidak Banyak

JAKARTA – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu menyebut proposal konsensus global pajak internasional tidak membuat negara berkembang mendapatkan banyak keuntungan.

Analis Kebijakan Ahli Muda BKF Melani Dewi Astuti mengatakan konsensus global dengan Pilar 1 dan Pilar 2 merupakan bentuk kompromi dalam skala internasional. Namun, negara berkembang tidak mendapatkan semua keuntungan dari adanya konsensus global.

“Jadi untuk Pilar 1 itu negara maju yang membagi penghasilan ke negara pasar yang sebagian besar merupakan negara berkembang. Sementara Pilar 2 justru kebalikannya, negara maju yang lebih banyak mendapatkan keuntungan,” katanya, dikutip pada Minggu (28/11/2021).

Melani menjelaskan Pilar 1 dalam konsensus pajak global mengatur hak pemajakan bagi negara pasar meskipun perusahaan multinasional tidak memiliki kehadiran fisik.

Perubahan tersebut membuka ruang hak pemajakan negara pasar seperti Indonesia terhadap aktivitas bisnis perusahaan multinasional digital yang tidak memiliki kantor cabang atau bentuk usaha tetap (BUT), tetapi memperoleh penghasilan dari pasar domestik.

Meski demikian, terdapat sejumlah syarat yang berpotensi mereduksi jumlah penerimaan pajak negara pasar dari Pilar 1 antara lain ambang batas omzet konsolidasi naik dari €750 juta menjadi €20 miliar. Perubahan tersebut mengurangi basis pemajakan perusahaan multinasional yang bisa dikenakan PPh badan, meskipun tidak memiliki kehadiran fisik.

Kemudian, basis pemajakan bukan berdasarkan laba total tapi mengacu pada laba residual yang dibagi ke negara pasar sebesar 25%. Lalu, hak pemajakan berlaku untuk nilai penjualan minimum di negara pasar senilai €1 juta.

“Jadi kalau kurang dari itu [€1 juta penjualan domestik], kita tidak bisa pajaki, meskipun ada hak pemajakan baru, tetapi ada kriteria tertentu yang membuat tidak bisa dipajaki,” ujarnya.

Selanjutnya, Pilar 2 mengatur pajak minimum bagi perusahaan multinasional sebesar 15%. Pada Pilar 2 ini, manfaat terbesar berlaku pada negara maju. Sebab, hak mendapatkan top up tax atau selisih dari tarif pajak minimum 15% berlaku bagi negara tempat ultimate parent entity (UPE) berdomisili.

“Perlu diingat Pilar 2 ini lebih ke arah ultimate parent entity negara domisili yang bisa narik. Jadi di mana induk perusahaan berada. Padahal, kalau dilihat induk perusahaan multinasional itu banyak di negara maju, bukan di negara berkembang,” jelas Melani.

Sumber : DDTCNews

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only