Neraca Perdagangan Oktober Diprediksi Defisit, Ini Hitung-hitungannya

JAKARTA – Neraca perdagangan pada bulan Oktober 2018 diprediksi akan mengalami defisit. Berbalik dari posisi September 2018 yang tercatat surplus sebesar USD227 juta.

Ekonom menilai kondisi defisit neraca perdagangan didorong menurunnya beberapa harga komoditas yang jadi andalan ekspor Indonesia di pasar internasional, serta kondisi pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS).

Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan neraca perdagangan Oktober 2018 defisit USD15 juta. Dipengaruhi laju ekspor yang terkontraksi -2,61% seiring dengan tren penurunan harga komoditas ekspor.

Di mana sepanjang bulan Oktober harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) turun -5% secara month to month (mtm), batubara turun -4% mtm dan karet alam turun -1% mtm.

“Selain itu aktivitas manufaktur dari beberapa mitra dagang utama juga cenderung melambat,” ujarnya kepada Okezone, Kamis (15/11/2018).

Sementara itu, laju pertumbuhan impor juga mengalami penurunan dipengaruhi oleh tren pelemahan Rupiah. “Tren harga minyak dunia yang menurun juga menghambat laju impor migas sepanjang bulan Oktober,” katanya.

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhustira memprediksi, defisit neraca perdagangan bulan Oktober sekitar USD300-700 juta. Didorong penurunan harga beberapa komoditas perkebunan di pasar internasional.

“Harga minyak sawit anjlok -32% periode Januari-Oktober 2018. Kemudian harga karet turun -44% diperiode yang sama (data Commodity Price World Bank). Padahal sawit dan karet menyumbang 16% dari total ekspor non migas,” kata dia.

Faktor lainnya yakni fluktuasi kurs Rupiah yang membuat beban biaya logistik semakin naik. Ini karena 90% kapal untuk ekspor menggunakan kapal asing sehingga acuan biaya dan bahan bakar menggunakan kurs Dolar AS.

“Sementara impor migas kembali naik sesuai siklus musiman untuk persiapan stok menyambut libur panjang November-Desember,” ujar dia.

Di mana harga minyak hingga Oktober masih terpantau tinggi rata-rata USD76,7 per barel atau naik 43% dibanding awal tahun 2018. Artinya defisit akan tertekan bengkaknya impor migas secara konsisten.

Beberapa proyek infrastruktur yang tengah digenjot pun menjadi penyumbang naiknya impor mesin, peralatan listrik dan besi baja.

“Kalau PPh impor efeknya kalaupun ada sangat kecil, karena 1.147 pos barang yang pajaknya naik itu cuma 5,5% dari total impor non migas. Kurang signifikan,” kata dia.

Sumber: economy.okezone.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only