Bank Dunia perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sebesar 5,2%

JAKARTA. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sebesar 5,2%. Tahun depan, Bank Dunia juga meramalkan ekonomi Indonesia akan tumbuh sama dengan tahun ini yakni 5,2%. Pertumbuhan ekonomi didodorong permintaan dalam negeri yang tinggi dan diperkirakan mampu mengimbangi hambatan dari eksternal.

Menurut laporan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama lima kuartal terakhir (sejak kuartal III-2017) terutama akibat menggeliatnya sektor pertambangan dan infrastruktur. Faktor pendorongnya antara lain pulihnya investasi di sektor swasta yang membentuk peningkatan modal tetap bruto.

Sedangkan konsumsi swasta sedikit menurun, namun diimbangi dengan lonjakan konsumsi pemerintah yang tetap menjaga pertumbuhan konsumsi secara total. Namun, pembangunan infrastruktur yang tinggi menyebabkan pertumbuhan nilai impor juga tinggi. Meskipun ekspor meningkat namun karena pertumbuhan impor lebih tinggi menyebabkan pertumbuhan ekonomi terhambat.

Di sisi produksi, pertumbuhan meningkat di sebagian besar sektor kecuali untuk sektor pertanian dan utilitas. Akibatnya pertumbuhan nilai tambah bruto sedikit meningkat menjadi 5,1% secara tahunan, dari kuartal II-2018 yang hanya 5%.

Selain itu, defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) juga terus melebar. Tercatat defisit transaksi berjalan mencapai US$ 8,85 miliar atau setara 3,37% dari produk domestik bruto (PDB).

Hal ini disebabkan harga minyak mentah yang tinggi hingga Oktober 2018, dan pertumbuhan proyek infrastruktur yang terus meningkat plus nilai rupiah yang terdepresiasi. Sisi lain, investasi asing langsung hanya mencapai US$ 3,3 miliar atau nilainya lebih kecil timbang CAD.

“Sejak Januari hingga Oktober 2018 rupiah terdepresiasi sekitar 12%, sehingga yang menjadi perhatian adalah CAD,” ungkap Frederico Gil Sander, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, Kamis (13/12).

Menurutnya, arus masuk dana asing ke obligasi berada pada tingkat terendah pada tujuh tahun terakhir. Ini diakibatkan kebijakan moneter yang ketat dari negara maju serta ketidakpastian global yang besar terkait perang dagang. Ditambah dengan CAD yang melebar menyebabkan rupiah rentan terdepresiasi.

Atas kondisi tersebut, Bank Indonesia (BI) merespon dengan menaikkan suku bunga acuan menjadi 6% di kondisi inflasi yang rendah. Namun perlu diketahui, inflasi rendah utamanya disebabkan oleh harga barang yang diatur pemerintah (administered price).

Hal ini mencerminkan fokus pemerintah pada stabilitas ekonomi. Posisi fiskal menunjukkan, pemerintah menekan defisit APBN 2018 untuk menurunkan pembiayaan dan tekanan pada pasar obligasi.

Penerimaan didorong oleh pajak penghasilan non-migas, penerimaan migas dan pajak pertambahan nilai. Sedangkan pertumbuhan belanja pemerintah didorong oleh belanja pegawai, belanja barang dan subsidi energi yang tinggi.

Dengan kondisi demikian, Bank Dunia memproyeksikan CAD akan terus melebar menjadi 2,9% dari PDB di akhir 2018, meskipun dampak depresiasi rupiah terhadap impor dan neraca penerimaan menurun. Sedangkan inflasi diprediksi dikisaran 3,2%, dan defisit APBN diperkirakan sebesar 2,1% dari PDB.

Sumber: kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only