Mimpi Buruk Defisit Neraca Perdagangan

Defisit neraca perdagangan adalah mimpi buruk bagi negara mana pun. Neraca perdagangan yang terus digerogoti defisit, jika diikuti defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang besar, bisa membuat rapuh sendi-sendi perekonomian. Gara-gara defisit perdagangan dan CAD yang terus membesar, negara-negaraemerging markets, seperti Turki, Argentina, dan Afrika Selatan, diterjang gejolak ekonomi dan krisis nilai tukar. Karena defisit perdagangan dan CAD yang membesar pula, Amerika Serikat (AS) mengobarkan perang dagang terhadap Tiongkok.

Defisit perdagangan dan CAD yang menganga lebar, tidak boleh dipandang sebelah mata. Pencapaian-pencapaian ekonomi bisa berantakan jika masih dibayang-bayangi defisit perdagangan dan CAD yang besar. Pertumbuhan ekonomi akan tergerus, inflasi melonjak, nilai tukar bergolak. Angka kemiskinan dan pengangguran bakal melambung.

Itu sebabnya, kita merasa miris saat Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan neraca perdagangan Januari-November 2018 mengalami defisit US$ 7,51 miliar. Defisit perdagangan terjadi akibat besarnya defisit migas (mencapai US$ 12,15 miliar) dan minimnya surplus nonmigas (hanya US$ 4,63 miliar).

Dibanding periode sama tahun silam, kondisi neraca perdagangan Januari-November tahun ini sungguh jomplang. Pada Januari-November 2017, neraca perdagangan mencatatkan surplus US$ 12,08 miliar akibat besarnya surplus nonmigas (mencapai US$ 19,58 miliar), meski nonmigas mengalami defisit US$ 7,50 miliar.

Perbandingan neraca perdagangan 2017 dan 2018 memang tidak sepadan. Selama Januari-November tahun lalu, neraca perdagangan selalu membukukan surplus setiap bulannya, kecuali pada Juli. Sebaliknya, selama Januari-November tahun ini, neraca perdagangan selalu menorehkan defisit setiap bulannya, kecuali pada Maret dan September.

Kita juga mengurut dada karena defisit perdagangan selama November 2018 sangat besar, mencapai US$ 2,04 miliar akibat defisit migas dan nonmigas masing-masing senilai US$ 1,46 miliar dan US$ 583,2 juta. Itu merupakan angka defisit terbesar sepanjang sejarah perdagangan NKRI. Padahal, pada November 2017, neraca perdagangan mengalami surplus US$ 221,2 juta.

Impor Januari-November 2018 didominasi bahan baku/penolong sebesar US$ 130,34 miliar, naik 21,44% secara tahunan (year on year/yoy), dengan kontribusi 75,20% terhadap total impor. Selanjutnya impor barang modal US$ 27,26 miliar, tumbuh 24,80% (yoy), dengan kontribusi 15,73%, disusul barang konsumsi US$ 15,71 miliar, meningkat 23,72%, dengan kontribusi 9,07% terhadap total impor.

Secara bulanan (month to month/mtm) atau dibanding Oktober 2018, impor bahan baku/penolong, barang modal, dan barang konsumsi selama November 2018 turun masing-masing sekitar 5%. Namun, dibanding November 2017 (yoy) naik 11,68%.

Tiongkok masih merajai impor nonmigas Indonesia selama Januari-November 2018, senilai US$ 40,84 miliar dengan kontribusi 28% terhadap total impor nonmigas nasional. Angka itu naik 28,52% dibanding Januari-November 2017 yang mencapai US$ 31,78 miliar.

Tentu saja angka-angka tersebut membeberkan banyak hal. Pertama, upaya pemerintah menyeimbangkan kembali neraca perdagangan melalui diversifikasi produk ekspor dan diversifikasi pasar ekspor masih nihil. Produk yang diekspor masih itu-itu saja (sumber daya alam, bahan mentah bernilai tambah rendah). Pasar yang dituju masih pasar ekspor tradisional. Penguatan industri manufaktur melalui hilirisasi belum benar-benar diimplementasikan. Belum banyak pula perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) yang dijalin dengan negara mitra dagang.

Kedua, pemerintah kurang antisipatif terhadap dampak negatif perang dagang antara AS dan Tiongkok. Buktinya, impor nonmigas dari Tiongkok pada Januari-November 2018 melonjak 28,52% (yoy), tetapi ekspor nonmigas RI ke negara itu cuma tumbuh 18,52%, dari US$ 19,15 miliar menjadi US$ 22,70 miliar. Bahkan, ekspor nonmigas pada November 2018 turun 7,10% dibanding bulan sebelumnya. Ekspor nonmigas ke Tiongkok cuma berkontribusi 15,12% terhadap total ekspor.

Bukan rahasia lagi jika perang dagang antara AS dan Tiongkok telah memaksa Tiongkok membuang produk ekspornya ke negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Strategi serupa dilakukan AS, yang ditunjukkan oleh melonjaknya impor nonmigas dari AS (naik 20,22%) selama Januari-November tahun ini, dengan nilai US$ 8,38 miliar. Bandingkan dengan ekspor Indonesia ke AS yang cuma naik 3,04%.

Ketiga, pembatasan impor barang konsumsi melalui penaikan pajak penghasilan impor (PPh) impor terhadap sekitar 1.000 item barang belum membuahkan hasil optimal. Faktanya, impor barang konsumsi pada November tahun ini cuma turun 4,7% dari bulan sebelumnya, malah selama Januari-November 2018 (yoy) naik 23,72%.

Keempat, pemerintah belum berhasil memangkas konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Selama Januari-November tahun ini, volume impor migas yang terdiri atas minyak mentah, BBM, dan gas hanya turun 0,74% dibanding periode sama tahun silam, dari 45,64 juta ton menjadi 45,30 juta ton. Padahal, konsumsi BBM merupakan salah satu pendulum yang sangat menentukan rapor neraca perdagangan.

Tingginya konsumsi BBM biasanya disebabkan oleh meningkatnya jumlah kendaraan, rendahnya kesadaran masyarakat untuk menghemat BBM, dan kebijakan populis pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, meski harga minyak mentah naik. Kecuali menyehatkan APBN, penaikan harga merupakan instrumen yang efektif untuk menekan konsumsi BBM di dalam negeri. Pemerintah tampaknya memilih kebijakan populis, walau konsekuensinya CAD semakin parah.

Atas data yang cukup memprihatinkan tersebut, wajar jika kita mengkhawatirkan kondisi CAD ke depan. Pada kuartal III 2018, CAD sudah mencapai US$ 8,8 miliar atau 3,37% terhadap produk domestik bruto (PDB), lebih tinggi dari kuartal sebelumnya US$ 8,0 miliar (3,02% PDB). Kendati secara keseluruhan CAD masih di bawah 3% PDB, kondisi CAD sesungguhnya sudah lampu kuning.

Kelima, terus melebarnya CAD memaksa kita menengok kembali langkah-langkah yang telah ditempuh pemerintah untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan. Pada September lalu, pemerintah mewajibkan eksportir mineral dan batu bara memasukkan devisa hasil ekspor (DHE) ke rekening bank nasional.
Kebijakan DHE kemudian diperluas. Melalui Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XVI, pemerintah mewajibkan DHE sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan masuk sistem keuangan Indonesia (SKI).

Eksportir yang melanggar diancam sanksi administratif, dari mulai tidak dapat mengekspor, denda, hingga pencabutan izin usaha. Sebaliknya, eksportir yang mengonversi bunga deposito DHE sumber daya alam (SDA) ke rupiah mendapat insentif PPh.

Demi menyeimbangkan neraca transaksi berjalan, pemerintah juga mewajibkan proyek energi menggunakan barang modal, bahan baku, dan peralatan buatan lokal. Selain itu, pemerintah memperluas program pencampuran 20% minyak sawit dalam solar (B20) ke berbagai sektor dan mewajibkan letter of credit (L/C) untuk ekspor mineral, batu bara, sawit, minyak, dan gas bumi.

Upaya dan strategi pemerintah sudah benar. Namun, merujuk pada kondisi neraca perdagangan dan CAD terakhir, kita yakin pemerintah belum bekerja maksimal. Tahun depan, tak ada alasan bagi pemerintah untuk berleha-leha. Membiarkan neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan terus defisit berarti membiarkan perekonomian nasional terperosok ke lubang krisis.

Sumber Berita satu

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only