Pemerintah Upayakan Insentif 5 Sektor Berpotensi Ekspor

Jakarta – Pemerintah akan memberikan insentif lima sektor industri yang memiliki kontribusi terbesar dalam produk domestik bruto (PDB) nasional dan ekspor pada tahun depan. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto berharap genjotan industri pengolahan ini dapat memperbaiki neraca perdagangan yang masih defisit sebesar US$ 7,5 miliar hingga November ini.

Adapun lima sektor tersebut industri makanan dan minuman; kimia; barang logam, komputer, elektronik, dan mesin; alat angkut; dan tekstil dan pakaian. “Pemerintah sedang memikirkan insentif apa yang bisa didorong untuk ekspor. Ini masih dalam pembahasan,” kata Airlangga, Rabu 10 Desember 2018.  

Airlangga berharap dengan adanya insentif tersebut, lima industri prioritas dapat memicu tambahan ekspor. Selain itu, ia juga berharap dengan adanya perkembangan industri tersebut bisa menyerap lebih banyak tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Pemerintah, kata Airlangga, juga akan terus mendorong peningkatan industri yang memiliki kapasitas lebih, contohnya adalah industri otomotif. 

Kemenperin mencatat, ekspor produk otomotif terus tumbuh setiap tahunnya. Ekspor kendaraan roda selama Januari-Oktober 2018 sudah mencapai US$ 1,3 miliar. Kemudian, ekspor kendaraan roda empat sudah mencapai US$ 4,7 miliar. Airlangga menilai hasil tersebut menunjukkan nilai yang sangat besar dalam ekspor produk otomotif. “Apabila dihiting, multiplier effect-nya yang bisa dirasakan adalah penyerapan tenaga kerja, industri komponen, dan lainnya,” kata dia.  

Airlangga menuturkan agar ada harmonisas tarif terhadap industri otomotif tersebut. Selain itu, Kemenperin juga mendorong untuk revisi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Pasalnya, kata dia, permintaan otomotif paling tinggi terjadi pada kelas mobil sedan di pasar global. Sementara, pajak untuk jenis kendaraan ini masih relatif besar karena masuk dalam kategori barang mewah. Ia berharap revisi PPNBM bisa memicu produksi mobil sedan di dalam negeri dengan dukungan permintaan domestik yang juga baik.  

“Yang namanya barang ekspor itu harus ada kombinasi untuk pasar domestik dan ekspor supaya volumenya bisa meningkat secara signifikan,” kata Airlangga.  

“Kami yakin lima sektor tersebut bisa mendongkrak neraca perdagangan. Apalagi, kontribusi ekspor industri pengolahan 72,28 persen pada 2018,” kata Airlangga.  

Kemenperin memperoyeksikan pertumbuhan industri non-migas sebesar 5,4 persen pada tahun depan. Target tersebut lebih rendah dari target 2018 sebesar 5,6 persen. Sekretaris Jenderal Kemenperin Haris Munandar menuturkan proyeksi tersebut didasarkan pada kondisi perekonomian dunia yang sedang tidak stabil.Ia menuturkan perang dagang antara Amerika Serikat dengan China turut berdampak terhadap Indonesia. Sejumlah negara, kata dia, mulai memproteksi diri untuk memproduksi barang dalam negeri. Hal tersebut dinilai mempersulit perluasan pasar ekspor Indonesia ke luar negeri. 

Selain pemberian insentif, kata dia, pemerintah juga tengah mengupayakann jalan lain, seperti peningkatan TKDN dan non-tariff measures (NTM) sebagai proteksi pada produsen domestik. Selain itu, mendorong agar produk dalam negeri memiliki daya saing lewat peningkatan produktivitas melalui pelatihan SDM (sumber daya manusia) dan pendidikan vokasi industri.  

“Rata-rata pertumbuhan industri sepanjang tahun ini sekitar 4,9 persen. Kami harap pada kuartal keempat akan bisa naik. Prediksi saya masih optimistis mencapai 5 persen,” ujar Haris.  

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat meminta agar pemerintah tidak hanya sekedar mengumbar janji dalam pemberian insentif kepada produsen berpotensi ekspor. Ia menuturkan potensi pertumbuhan industri tekstil masih terus membaik. Pada 2017, pertumbuhan industri tekstil mencapai 5 persen. Pada 2018, industri ini sudah melampaui target sebesar 6,4 persen. “Kami yakin bahkan bisa sampai 9 persen,” kata dia. 

 Sampai saat ini, kata Ade, insentif yang ditawarkan oleh pemerintah seperti tax holiday masih sulit dijangkau oleh investor. Dalam pengajuan tax holiday, kata Ade, prosesnya masih tidak praktis. Menurut dia, investor masih harus menyambangi satu kementerian ke kementerian lainnya. Padahal, kata dia, pemerintah bisa membuka di satu pintu lewat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). “Semua insentif harus berorientasi pada dua hal, seberapa besar penyerapan tenaga kerja dan seberapa besar orientasi ekspornya,” kata dia

Sumber : tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only