Membidik Pajak WNI yang Sembunyikan Harta di Negeri Orang

Wajib pajak yang ketahuan memiliki harta di luar negeri tapi tidak pernah dilaporkan akan dikenakan sanksi 48% hingga 200% dari kewajiban pajaknya.

Pemerintah akan mengandalkan harta-harta orang Indonesia yang selama ini belum tersentuh pajak, untuk mengejar target penerimaan pajak tahun depan. Data keuangan yang didapat dari hasil kerja sama pertukaran data keuangan otomatis antar negara (AEoI) akan menjadi dasar pemerintah mengejar pajak dari harta dan penghasilan orang Indonesia yang disembunyikan di luar negeri.

Target penerimaan perpajakan (pajak dan bea cukai) tahun depan memang tergolong tinggi, yakni sebesar Rp 1.786,4 triliun. Target ini naik 15,36% dibandingkan proyeksi realisasi tahun ini sebesar Rp 1.548,4 triliun. Mayoritas target tersebut bakal berasal dari pajak. Maka itu, diperlukan usaha lebih untuk bisa mencapai target.

Saat pembahasan anggaran 2019 dengan parlemen, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%, inflasi 3,5%. Jika pergerakannya mengacu asumsi ekonomi ini pertumbuhan pajak hanya akan naik 8,5%. Dengan target penerimaan pajak yang terkesan ambisius, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak harus mampu berinovasi untuk mengejarnya.

Memang sulit mengejar target penerimaan pajak, apabila hanya mengandalkan asumsi ekonomi. Lembaga konsultan perpajakan DDTC Fiscal Research juga memperkirakan realisasi penerimaan pajak 2019 tak akan mencapai target, jika masih mengandalkan asumsi ekonomi. Peneliti perpajakan DDTC Bawono Kristiaji memperkirakan penerimaan pajak tahun depan sekitar Rp 1.450 – Rp 1.491 triliun.

“Realisasi penerimaan pajak hanya antara 91,9 persen hingga 94,5 persen dari target Rp 1.577,6 triliun,” ujar Bawono dalam Konferensi Pers Outlook dan Tantangan Sektor Pajak 2019 ‘Berebut Suara Wajib Pajak’ di Menara DDTC, Jakarta, Kamis (13/12).

Menurutnya, realisasi penerimaan pajak tahun depan bisa melebihi prediksi DDTC, jika pemerintah bisa mengejar penerimaan dari wajib pajak yang menyimpan hartanya di luar negeri dengan memanfaatkan program AEoI. Pelaksanaan AEoI antarnegara bertujuan supaya pemerintah lebih leluasa melacak potensi pajak di luar negeri. Sistem ini memungkinkan dilakukan pertukaran informasi rekening wajib pajak lintas negara.

Menteri Sri mengatakan saat ini sudah ada kemajuan penting dalam kerja sama antarnegara dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak. Beberapa diantaranya, kerjasama anti penghindaran pajak melalui pengalihan laba ke negara lain (Base Erosion Profit Shifting/BEPS), pertukaran data informasi keuangan atau Automatic Exchange of Information (AEOI), serta perpajakan ekonomi digital.

Selama ini kelompok kaya mudah memanfaatkan otoritas negara bebas pajak (tax haven) dan celah regulasi antarnegara untuk menghindari pajak. “Indonesia akan memanfaatkan kerja sama ini untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan meningkatkan basis pajak,” ujar Sri awal Desember 2018.

Program AEoI sudah mulai berjalan September lalu. Saat ini Ditjen Pajak sudah menerima data keuangan dari 65 negara, termasuk di antaranya beberapa negara yang juga dikenal sebagai surga pajak. “Kami sudah menerima data keuangan dari negara-negara seperti Panama, Cayman Islands, Bahama, Guernsey, juga Singapura dan Hong Kong,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama kepada Katadata.co.id, Jumat (7/12).

Meski begitu, implementasi AEoI belum bisa berpengaruh terhadap realisasi penerimaan pajak tahun ini. Ditjen Pajak masih harus mengolah data-data yang diterima dalam dua hingga tiga bulan. Artinya, Ditjen Pajak baru bisa memanfaatkannya pada akhir 2018 atau awal 2019, sehingga baru bisa berdampak pada penerimaan pajak tahun depan.

AEoI merupakan komitmen dari negara-negara yang tergabung dalam Global Forum on Transparency and Exchange of Information. Inti dari implementasi kebijakan tersebut adalah pertukaran informasi rekening atau nasabah, yang dalam konteks Indonesia milik warga negara Indonesia dengan yurisdiksi mitra secara otomatis.

Data yang dipertukarkan Indonesia dengan negara lain dalam AEoI diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 tahun 2017 tentang pertukaran data nasabah. Berdasarkan aturan tersebut ada lima elemen data yang dipertukarkan. Kelimanya adalah identitas pemilik rekening, nomor rekening, identitas lembaga keuangan, saldo rekening dan penghasilan yang diperoleh dari rekening (bunga).

Data ini yang nantinya akan dimanfaatkan oleh Ditjen Pajak untuk mengejar penerimaan pajak yang selama ini tidak tersentuh. Data hasil program AEoI diyakini bisa mendorong kepatuhan wajib pajak dalam membayar kewajibannya. Program ini berpotensi meningkatkan penerimaan pajak dari pajak penghasilan (PPh) badan dan orang pribadi.

Dari data ini, Ditjen Pajak akan memeriksa SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) wajib pajak tersebut. Ditjen memastikan tidak akan mengusik wajib pajak yang sudah melaporkan seluruh harta dalam SPT dan membayar pajaknya. Penindakan hanya akan dilakukan bagi wajib pajak yang ketahuan memiliki harta tapi belum dilaporkan. Dua tahun lalu, pemerintah telah memberikan kesempatan bagi wajib pajak mengungkapkan hartanya melalui program pengampunan pajak atau tax amnesty.

Ada sanksi bagi wajib pajak yang sengaja menyembunyikan dan tidak pernah melaporkan hartanya dalam SPT Pajak dan tidak ikut program tax amnesty. Harta yang tidak dilaporkan tersebut akan dianggap sebagai penghasilan tambahan dan dikenakan PPh. Bagi wajib pajak yang telah ikut tax amnesty, akan dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari PPh terhutang. Sementara bagi wajib pajak yang tidak ikut tax amnesty akan dikenakan denda 2% per bulan selama dua tahun.

Sumber: 

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only