Lampu Merah Defisit Perdagangan

Pemerintah harus cepat-cepat bergerak mengatasi memburuknya defisit neraca perdagangan kita. Pada November lalu, defisit tercatat sudah sebesar US$ 2,05 miliar: ini rekor terburuk sepanjang tahun ini. Angka tersebut bahkan lebih buruk 16 persen dibanding defisit sebulan sebelumnya, yakni minus US$ 1,77 miliar.

Jika tak ada langkah jitu dan segera, kondisi itu akan memicu memburuknya defisit neraca transaksi berjalan dan mengirim sinyal bahaya ke pasar keuangan dunia. Kredibilitas pengelolaan ekonomi Indonesia bisa-bisa dipertanyakan dan dampak lanjutannya bisa berupa minimnya prospek investasi, mahalnya bunga surat utang, dan tersendatnya perluasan ekspor kita.

Sayangnya, tanda-tanda bakal ada penanganan yang cergas sejauh ini belum terdeteksi. Padahal tren defisit perdagangan sudah terjadi sejak dua bulan lalu dan berpotensi berlanjut pada Desember. Jika kondisi itu tak berubah, defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal keempat tahun ini bisa lebih buruk dibanding kuartal sebelumnya. Pada kuartal yang lalu, defisit transaksinya sebesar US$ 8,8 miliar atau 3,37 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Dengan mencermati komposisi ekspor-impor Indonesia, penyebab utama defisit perdagangan sebenarnya bisa diketahui dengan mudah. Tingginya impor migas di tengah gejolak nilai tukar rupiah membuat nilai ekspor kita selalu keteteran. Selama November saja, impor migas tercatat sebesar US$ 2,82 miliar, jauh lebih besar dibanding nilai ekspor migas yang senilai US$ 1,37 miliar.

Memang, pemerintah sudah berupaya menekan defisit perdagangan migas dengan kebijakan penggunaan biofuel sebesar 20 persen (B20). Tapi-setidaknya sampai hari ini-efektivitas kebijakan ini tak terbukti. Devisa yang bisa diperoleh jika semua biofuel itu diekspor malah hilang.

Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan membatasi impor barang konsumsi dengan mengenakan pajak penghasilan (PPh) atas 1.147 barang impor sejak September. Namun kebijakan ini juga tak bertaji. Alih-alih turun, impor barang konsumsi malah tumbuh 22,1 persen.

Satu-satunya cara mengatasi defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan adalah dengan kebijakan pemerintah yang konsisten, terarah, dan jelas. Dalam jangka panjang, sudah saatnya pemerintah serius mengembangkan industri manufaktur untuk produk substitusi impor. Untuk itu, perbaikan iklim investasi adalah hal mutlak. Berbagai hambatan tarif dan nontarif harus dicabut agar investasi asing mengalir deras.

Sedangkan dalam jangka pendek, Presiden Joko Widodo sebenarnya tak punya pilihan selain menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Banyak yang ragu Jokowi berani mengambil risiko jadi tak populer dengan menaikkan harga Premium menjelang pemilihan umum April 2019. Namun, demi menyelamatkan perekonomian nasional, kepentingan politik elektoral seharusnya bisa dikesampingkan. Bola ada di tangan Jokowi.

Sumber: kolom.tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only