Upaya ekstra menarik pulang devisa ekspor

JAKARTA. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) bakal memperkuat pengawasan dan penegakan hukum atas kewajiban eksportir membawa masuk devisa hasil ekspor (DHE) ke sistem perbankan dalam negeri. Sebab, belum semua eksportir melakukan kewajiban tersebut.

Padahal, Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan DHE dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri menyebutkan, ada sanksi bagi eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban itu. Hukumannya berupa denda sebesar 0,5% dari nilai devisa hasil ekspor untuk satu bulan pendaftaran pemberitahuan ekspor barang (PEB).

“Penegakanhukumdiperkuat meskipun kebijakannya akan tetap sama. Kami dan BI terus bekerjasama untuk lakukan ini. Kami siap kerjasama mendukung kebijakan BI,” tegas Menteri Keuangan Sri Mulyani, Jumat (27/7).

Maklum, Pemerintah dan BI harus memperbesar cadangan devisa yang belakangan menyusut. Salah satunya, untuk operasi moneter menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Hingga akhir Juni lalu, cadangan devisa Indonesia tinggal US$ 119,84 miliar. Jumlah itu tergerus sebanyak US$ 12,14 miliar dibanding akhir Januari seiring tekanan terhadap mata uang garuda.

Ekspor yang jadi tumpuan utama untuk mengisi cadangan devisa, kinerjanya malah melempem. Neraca perdagangan sepanjang semester I 2018 pun mengalami defisit sebesar US$ 1,03 miliar. Defisit neraca dagang berpotensi melebar karena kinerja ekspor masih melambat.

Konversi rupiah

Untuk itu, pemerintah akan mendorong para eksportir untuk melakukan konversi devisa hasil ekspor ke rupiah. Selama ini, baru 15%25% dari total DHE yang pelaku ekspor konversi ke rupiah.

Pemerintah memahami, ada kebutuhan untuk membeli bahan baku maupun membayar utang ke bank asing sehingga eksportir menahan DHE dalam bentuk valas. Namun, pemerintah berharap, valas hasil ekspor yang ada di Indonesia dikonversi ke rupiah. “Toh, bisa beli valas setiap saat. Kami ingin koordinasi terutama di saat tidak biasa seperti saat ini. Kami ingin kepercayaan pasar diperkuat,” ujar Sri Mulyani.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, 90% lebih DHE sudah masuk ke Indonesia. Data ini berasal dari hasil pencocokan yang bank sentral lakukan terhadap dokumen pengapalan dan uang yang masuk ke perbankan di negara kita. “Karena Indonesia menganut sistem devisa bebas, maka uang itu setelah masuk dan yang punya mau gunakan untuk apapun, ya, tidak dilarang,” katanya.

Uang tersebut biasanya digunakan bila ada kewajiban membayar utang luar negeri dan membiayai impor bahan baku. “Kalau mau dikonversi ke rupiah, ya, silakan. Atau kemudian ternyata dia dapat utang dari bank di luar negeri dan harus bayar bunga utang kemudian ada outflow, ya, silakan juga,” ujar Mirza.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumpulkan 40 taipan di Istana Bogor, Kamis (26/7) lalu. Hadir dalam pertemuan itu pendiri dan pemilik Medco Group Arifin Panigoro, bos Salim Group Anthony Salim, Chairman GarudaFood Group Sudhamek Agung WS, bos Grup Djarum Robert Budi Hartono, pendiri Rajawali Group Peter Sondakh, serta pendiri sekaligus ChairmanJababeka Group Setyono Djuandi Darmono.

Beberapa poin penting yang jadi bahan diskusi Presiden dan pengusaha adalah, kebijakan ekspor dan hambatan investasi serta keinginan pemerintah agar para konglomerat membawa valas mereka ke tanah air. Hitungan pemerintah, hanya 85% valas milik para para pengusaha itu yang pulang ke Indonesia.

Franky Welirang, Anggota Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), bilang, pemerintah juga harus menggenjot ekspor untuk meningkatkan devisa. Caranya, dengan memberi insentif ke komoditas ekspor andalan. “Sekarang tambang lagi naik, beri insentif, lalu atasi hambatan-hambatan bisnisnya,” imbuh Franky.

Sumber : kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only