Gappri Menolak Kenaikan Tarif Cukai

JAKARTA. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menolak rencana pemerintah menaikkan tarif cukai dan menyederhanakan layer cukai. Alasannya, hal itu berpotensi menyemarakkan peredaran rokok ilegal.

Pemerintah tengah merumuskan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait tarif cukai tembakau yang diproyeksikan berlaku pada 2019.

Gappri menilai salah satu pemicu meningkatnya peredaran rokok ilegal dan penurunan produksi rokok resmi lantaran tingginya harga rokok akibat kenaikan tarif cukai di atas tingkat kemampuan beli masyarakat.

Selain mengganggu stabilitas industri rokok, perdagangan rokok ilegal dapat menghambat penerimaan negara.

Ketua Gappri, Ismanu Soemiran mencontohkan, di negara seperti Malaysia, peredaran rokok ilegal semakin banyak lantaran tarif rokok di sana cukup mahal. Kondisi serupa juga dialami di New York, Amerika Serikat. “Apabila rokok ilegal semakin banyak beredar, maka pemerintah juga tidak mendapatkan penerimaan,” kata dia ke KONTAN, belum lama ini.

Kalangan pelaku industri memandang, kebijakan kenaikan tarif cukai juga bisa menjadi kontra-produktif dengan tujuan pemerintah merancang peraturan yang efektif bagi industri tembakau. Sebab, pemerintah bercita-cita menyeimbangkan kepentingan penerimaan pendapatan, kesehatan, tenaga kerja, dan pengendalian perdagangan rokok ilegal.

Ismanu menambahkan, apabila kenaikan tarif cukai dan penyederhanaan layer cukai benar-benar terwujud, maka akan menekan industri rokok nasional. Sebagai wadah perkumpulan dengan jumlah anggota yang 70% menguasai pasar rokok, dampak atas kebijakan tersebut akan menimpa sebagian besar perusahaan di bawah payung Gappri.

Berdasarkan catatan Gapri, kondisi industri rokok saat ini terpuruk dengan menurunnya volume penjualan. Hal itu tercermin dari rata-rata penurunan penjualan sebesar 1% hingga 2% selama empat tahun terakhir.

Kenaikan cukai yang terus-menerus, ditambah volume industri yang semakin menurun, mengakibatkan jumlah produsen rokok menyusut hingga 51% selama periode 2012 hingga 2017. Kondisi ini berdampak pada daya serap tenaga kerja di pabrik rokok dan pertanian tembakau.

Dari pengalaman Gappri, sebelum era reformasi ada 5.000 pabrik rokok dan saat ini menyusut menjadi 600 pabrik. Jumlah pabrik saat ini sudah ideal bila aturan multi layer tetap. “Kalau di sederhanakan ini bisa tinggal tiga pabrik perusahaan besar. Yang kena aturan itu pabrik yang kecil, bukan yang raksasa,” ungkap Ismanu.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only