Asap industri rokok terus mengebul

JAKARTA. Prospek industri rokok masih muram. Tiap tahun, pemerintah masih terus mengerek cukai tembakau demi menopang pendapatan bea cukai. Namun, kenaikan volume penjualan tetap membuat kinerja emiten sektor rokok mengepul.

Tahun ini, pemerintah menetapkan kenaikan cukai rokok sebesar 10%. Besaran kenaikan cukai rokok tahun depan juga akan segera diumumkan. Pemerintah berniat mempercepat keluarnya peraturan menteri keuangan (PMK) terkait tarif cukai tembakau yang berlaku di 2019 mendatang.

Selama ini, cukai rokok memang menjadi penopang penerimaan cukai. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga Juli 2019, realisasi penerimaan cukai mencapai Rp 67,8 triliun. Angka ini tumbuh 14,7% ketimbang tahun sebelumnya.

Kontribusi terbesar berasal dari cukai rokok yang sebesar Rp 64,8 triliun. “Artinya lebih dari 95% penerimaan cukai berasal dari cukai rokok,” kata analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya, dalam riset 23 Agustus.

Penyederhanaan tarif

Tetapi kenaikan penerimaan cukai ini juga jadi pedang bermata dua. Lantaran volume penjualan rokok berpotensi mengalami penurunan, seperti yang terjadi tiga tahun terakhir. Namun, tahun ini, volume penjualan rokok nasional hingga bulan Juli lalu malah naik 1,7%. “Ini ditopang kenaikan penjualan saat lebaran,” tambah Christine.

Walau belum menetapkan tarif cukai rokok untuk tahun 2019, pemerintah juga berencana melakukan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok. Namun pemerintah tetap akan menggunakan perhitungan kenaikan yang berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Selama ini, ada beberapa faktor yang biasa jadi faktor pertimbangan, yakni kesehatan, penerimaan industri, petani, dan pengaruh tarif terhadap peredaran rokok ilegal. Asal tahu saja, sejak 2016, rata-rata tarif cukai rokok naik 10%.

Christine yakin penyederhanaan pada dasar pertimbangan tarif cukai ini akan menguntungkan pemain rokok, terutama pemain besar.

Ia pun mengunggulkan saham PT Gudang garam Tbk (GGRM). Salah satu faktornya karena mulai beralihnya perokok dari sigaret kretek tangan (SKT) ke sigaret kretek mesin (SKM). “Apalagi rokok SKM milik GGRM masih jadi penguasa pasar untuk jenis rokok “Full-flovour“,” ungkap Christine. Ia pun merekomendasikan saham GGRM dengan target harga di Rp 89.000 per saham.

Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang pun masih menjagokan GGRM. Apalagi dari segi valuasi, price earing ratio (PER) GGRM lebih murah ketimbang PT HM. Sampoerna Tbk (HMSP). “Saat ini PER GGRM masih 18,82 kali sedangkan PER HMSP sudah 35,05 kali,” ujar dia.

Analis Binaartha Sekuritas M. Nafan Aji pun menjagokan saham GGRM. Sementara untuk saham PT Wismilak Inti Makmur, Tbk (WIIM), masih berada di tren menurun.

Kinerja WIIM juga cenderung melemah. Ini terlihat dari pendapatan WIIM di semester I-2018 yang turun sekitar 10,63%. Tapi perusahaan ini masih mencetak kenaikan laba bersih sebesar 59,81% menjadi Rp 18,49 miliar.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only