Ditjen Pajak Mulai Petakan WP Tak Patuh

JAKARTA, Pemerintah mulai menyiapkan strategi untuk mengotimalkan limpahan data dari implementasi automatic exchange of information atau AEoI yang mulai dilakukan pada bulan depan. Wajib pajak tak patuh, tak mengikuti pengampunan pajak, atau mengikuti namun tak menuntaskan semua komitmen bakal menjadi prioritas dari pertukaran informasi tersebut.

Ditemui di kantornya, Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak John Hutagaol memastikan di internal Ditjen Pajak telah memiliki mekanisme tersendiri untuk memetakan WP yang diprioritaskan terkait kepentingan pertukaran informasi keuangan dengan negara lain. Strategi Ditjen Pajak itu juga akan ditopang oleh data lembaga keuangan yang sudah mulai diterima sejak April lalu.

“Proses persiapan sampai dengan saat ini sudah berjalan dengan baik. Tentunya, dengan dimulainya keterbukaan informasi khususnya di bidang perpajakan ini, diharapkan bisa menaikan kepatuhan wajib pajak,” kata John kepada Bisnis, Jumat (24/8/2018).

Sampai dengan pekan kemarin, jumlah lembaga keuangan yang telah melapor ke otoritas pajak sebanyak 5.182 dengan rincian 4.963 lembaga keuangan berstatus sebagai pelapor dan 219 sebagai lembaga keuangan non pelapor. Selain itu, untuk lembaga keuangan internasional, data sampai dengan April kemarin, jumlah yang sudah siap dipertukarkan berjumlah 69 lembaga keuangan.

John menyebutkan bahwa dalam hal peningkatan kepatuhan, implementasi AEoI akan sangat membantu otoritas pajak. Apalagi, fakta di lapangan menunjukan pelaksanaan pengampunan pajak atau yang lazim dikenal dengan tax amnesty belum sepenuhnya dimanfaatkan wajib pajak. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya WP yang tak mengikuti pengampunan pajak maupun yang mengikuti namun sebagian.

Sebagai penegasan dari data tax amnesty, realisasi deklarasi harta memang menunjukan hasil yang signifikan dengan total deklarasi harta mencapai Rp4.884 triliun. Namun demikian, dari jumlah tersebut sebagaian besar didominasi oleh deklarasi harta dalam negeri yang mencapai Rp3.660,7. Sedangkan deklarasi harta atau aset yang berasal dari luar negeri hanya Rp1.030,9 triliun.

Padahal kajian Kementerian Keuangan sebelum pelaksanaan program pengampunan pajak, jumlah harta terkait high net worth individual (HNWI) mencapai US$250 miliar atau jika dikalikan dengan kurs tahun sebelum tax amnesty yang berada di kisaran Rp10.000 kurang lebih nilai harta tersebut sebesar Rp2.500 triliun. Porsi harta terkait HNWI paling besar berada di Singapura, nilai perkiaraannya mencapai Rp2.000 triliun.

Dengan perkiraan harta tersebut, artinya jika dibandingkan dengan total deklarasi harta asal luar negeri hanya Rp1.030,9 triliun, saat ini masih terdapat sekitar Rp1.469,1 triliun harta WNI yang terparikir di luar negeri. Sementara itu untuk kasus Singapura, meski tercatat sebagai negara asal deklarasi harta paling besar yakni senilai Rp766,05 triliun, namun dibandingkan total harta milik WNI yang berada di negara tersebut yang diperkiarakan mencapai Rp2.000 triliun, jumlah yang belum dideklarasikan masih cukup besar yakni di kisaran Rp1.233,95 triliun.

PENERAPAN UJI COBA

Terkait hal itu, John memaparkan bahwa, pemerintah telah mempersiapkan berbagai macam cara untuk menangani berbagai macam persoalan tersebut. Saat ini, Ditjen Pajak juga sudah mulai melakukan percobaan pertukaran informasi keuangan negara mitra. Dalam uji coba tersebut, beberapa negara telah merespons permintaan pertukaran data dengan Indonesia.

“Rabu (pekan lalu) sudah kami kirimkan, intinya persiapan-persiapan kami lakukan baik di internal Ditjen Pajak maupun dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun asosiasi perbankan,” imbuhnya.

Adapun Direktur Jenderal Pajak April lalu telah mengumumkan daftar yurisdiksi partisipan dan yurisdiksi tujuan pelaporan, serta daftar jenis lembaga keuangan nonpelapor, dan jenis rekening keuangan yang dikecualikan.

Untuk pertukaran informasi keuangan yang akan dilaksanakan pada tahun 2018 terdapat 79 yurisdiksi yang termasuk dalam daftar partisipan. Yurisdiksi partisipan adalah yurisdiksi asing yang terikat dengan Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan informasi keuangan secara otomatis berdasarkan perjanjian internasional internasional.

Masuk dalam daftar yurisdiksi antara lain Australia, Belanda, Bermuda, British Virgin Island, Cayman Islands, Hong Kong, Inggris, Jepang, Luxembourg, Panama, Republik Rakyat Tiongkok, dan Singapura.

Dari 79 yurisdiksi partisipan tersebut, Indonesia akan melakukan pertukaran secara timbal balik atau resiprokal dengan 69 yurisdiksi tujuan pelaporan pada September 2018. Sisa 10 yurisdiksi lain terdiri dari lima yurisdiksi yang memilih untuk mengirimkan informasi kepada Indonesia secara nonresiprokal, yaitu tanpa meminta informasi dari Indonesia, pada September 2018; dan lima yurisdiksi yang akan bertukar secara resiprokal mulai September 2019.

John menyebutkan daftar yurisdiksi partisipan dan yurisdiksi tujuan pelaporan akan diperbarui sesuai dengan perkembangan jumlah yurisdiksi yang terikat dalam perjanjian internasional dengan pemerintah Indonesia untuk pertukaran informasi keuangan secara otomatis.

MODAL BESAR

Sementara itu Partner Fiscal Research Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan data tax amnesty maupun akses informasi keuangan merupakan modal besar bagi pemerintah. Jika dioptimalkan, data ini bisa menjadi bantalan bagi Ditjen Pajak untuk mengejar target penerimaan pajak yang setiap tahun naik.

Namun demikian, dia mengakui persoalannya tak sesederhana itu, optimalisasi data sangat tergantung dengan langkah atau strategi Ditjen Pajak dalam mengolah data tersebut, apakah bisa digunakan sebagai senjata untuk menggenjot penerimaan tahun depan atau justru kebalikannya.

“Tentu saja bukan berarti seluruh harta tersebut dapat langsung dipajaki, namun paling tidak bisa dipergunakan sebagai dasar untuk memetakan kepatuhan wajib pajak,”ungkapnya.

Dia menyebut, selain soal kepatuhan, penting untuk dicatat bahwa sistem pajak di Indonesia berhadapan dengan berbagai tantangan salah satunya adalah besarnya porsi underground economy dalam produk domestik bruto (PDB). Peran underground economy ini bisa dikikis jika data dan sistem informasi di lingkungan Ditjen Pajak berfungsi optimal.

“Intinya ya tanpa informasi upaya menguji dan mengawasi kepatuhan WP akan sulit dilakukan,” ungkapnya.

Meski demikian Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Herman Juwono menambahkan data dari AEoI adalah posisi awal, sehingga harus dikembangkan dengan kerja sama antar instansi supaya berjalan bersama saling support.

“Tax Amnesty yang repatriasi juga melalui gateway juga harus di pantau ketat selama 3 tahun. Karana realsasi repatriasi di perkirakan enggak lancar dan gateway tak bisa di pantau,”tukasnya.

Sumber : Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only