Bendung Serbuan Impor dengan Tarif

Pemerintah akana membatasi impor barang konsumsi guna menekan defisit neraca perdagangan. Caranya, dengan menaikkan tarif PPh impor.

Cemas. Begitulah yang kalangan pengusaha rasakan begitu mendengar rencana pemerintah yang akan membatasi impor barang konsumsi. Mereka khawatir pembatasan juga menyasar bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan buat produksi.

“Kalau itu juga turut dibatasi, tentu kami bakal membatasi produksi,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman.

Karena itu, Adhi meminta pemerintah berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pembatasan impor. Jika tidak cermat, itu malah bisa mempengaruhi iklim bisnis dan investasi.

Menurutnya, pembatasan impor tidak mudah karena terkait nomor harmonized system (HS) produk yang cukup kompleks. Tak jarang, untuk satu jenis barang, nomor HS nya sama. Padahal, salah satu produk merupakan bahan baku dan lainnya produk jadi.

Ya, pemerintah terus mematangkan kebijakan pembatasan impor. Defisit neraca perdagangan yang semakin melebar memaksa pemerintah melakukan pengendalian impor.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca dagang kita sepanjang Januari-Juli 2018 mengalami defisit sebesar US$ 3,08 miliar. Angka ini membengkak dibanding Januari-Juli 2018 yang sebesar US$ 1,02 miliar.

Sejalan, defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) terus melebar. Hingga kuartal II-2018, CAD mencapai US$ 8,02 miliar, melonjak dibanding kuartal I-2018 US$ 5,71 miliar.

Defisit yang melebar turut menekan rupiah. Menurut Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), Kamis (30/8) lalu, rupiah ada di level Rp 14.655 per dollar Amerika Serikat (AS). Ini posisi rupiah terlemah sepanjang tahun ini. Bahkan di pasar spot, posisi rupiah di hari yang sama sudah menembus Rp 14.700-Rp 14.800 per dollar AS.

September berlalu.

Nah, untuk mengendalikan impor pemerintah mengerek tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor. Tak tanggung-tanggung, kebijakan ini membidik sekitar 900 komoditas. Ini lebih tinggi dibanding rencana sebelumnya yang sebanyak 500 komoditas.

Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, menyebutkan, ke 900 komoditas impor itu merupakan barang konsumsi yang selama ini sudah terkena PPh Pasal 22. Aturan mainnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 132 Tahun 2015 dan PMK 34/2017 tentang Pemungutan PPh Pasal 22.

Misalnya, parfum dan cairan pewangi, lemari pendingin dan dispenser air dengan pemanas air untuk rumah tangga, serta tas sekolah dari kulit semak atau komposisi. Lalu, perangkat makan dari melamin, juga garmen dan aksesori pakaian untuk bayi dari kapas, serat sintesis, serta bahan lainnya.

Selama ini, komoditas tersebut kena tarif PPh Pasal 22 bervariasi 2,5%-10%. Nah, besaran naikkan oleh pemerintah. “Sekarang, masih kami hitung termasuk dampaknya,” kata Suahasil. Menurut dia, butuh waktu satu sampai dua minggu untuk menyelesaikan kajian tersebut. “Ditargetkan, September sudah bisa berjalan,” ujarnya.

Suahasil mengklaim, pemerintah sangat berhati-hati dalam menetapkan kebijakan ini. Yang jelas keputusan itu tidak akan mengganggu aktivitas  produksi di dalam negeri, sehingga berefek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Maka itu pembatasan impor hanya menyasar barang-barang konsumsi yang sudah diproduksi atau memiliki substitusi di dalam negeri.

Saat ini, Kementerian Keuangan bersama Kementerian Perdagangan tengah mengkaji barang-barang konsumsi impor apa saja yang telah diproduksi di Indonesia. Pemerintah juga akan melihat kapasitas industri lokal dalam memenuhi kebutuhan. Jangan sampai pembatasan impor membuat pasokan langka.

“Impor dari barang yang sudah diproduksi industri dalam negeri terutama UKM, kami akan lakukan langkah yang sangat tegas untuk mengendalikan barang konsumsi tersebut,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Di sisi lain, pemerintah bakal memilah barang konsumsi impor yang mendukung investasi dan produksi manufaktur di dalam negeri. Sebab, bila kedua sektor itu terkena imbas, maka akan mengganggu pertumbuhan ekonomi negara kita. “Untuk memastikan hal ini, kami menggandeng Kementerian Perindustrian,” ucap Suahasil.

Guna memaksimalkan program pembatasan impor, pemerintah melibatkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai. Selama ini, Ditjen Bea Cukai sudah melakukan penerbitan impor berisiko tinggi (PIBT), dan itu efektif menerbitkan praktik-praktik perdagangan ilegal. “Nanti, kalau daftar barang impor harus lebih detail. Jadi benar-benar kami pelototin per jenis barang, kami cocokkan,” tegas Suahasil.

Betul, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar mengatakan, pemerintah sangat berhati-hati dalam menetapkan pembatasan impor. Jangan sampai kebijakan ini menyasar bahan baku dan penolong industri. “Yang jelas, kami memastikan program ini tidak kontra sama daya saing industri,” katanya.

Maksimal 10%

Haris pun memastikan, kebijakan itu hanya membidik barang-barang konsumsi. Bahkan, beberapa barang konsumsi yang sudah keluar dari daftar pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) juga akan terkena kenaikan tarif PPh 22.

Barang itu antara lain tas wanita bermerek, parfum, dan kulkas dengan kapasitas tertentu. Ini untuk mengurangi peningkatan impor barang-barang tersebut setelah bebas pungutan PPnBM.

Untuk besaran kenaikan tarif PPh 22, menurut Haris, maksimal menjadi 10%. “Kenaikannya bervariasi, tapi tak lebih dari 10%. Paling ada beberapa yang dinaikkan, misalnya dari 2,5% menjadi  7,5%,” ungkap dia.

Kebijakan ini kelak hanya dengan merevisi PMK 132/2015 dan PMK 34/2017. Sekarang, pemerintah masih melakukan kajian yang mencakup riset dan sinkronisasi data lintas kementerian dan lembaga. “Termasuk, sinkronisasi data dengan data milik BPS,” imbuh Haris.

Sinkronisasi data juga untuk memastikan kapasitas industri domestik dalam memenuhi kebutuhan barang substitusi impor. Selain memikirkan dampaknya ke industri lokal, pemerintah pun sangat berhati-hati supaya kebijakan itu tak memicu masalah di tingkat internasional, khususnya di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Pasalnya, pembatasan impor tergolong sensitif dan bisa menyulut perang tarif dengan negara lain. “Nah, kami tidak ingin kebijakan ini mengganggu perjanjian dagang dengan negara mitra,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.

Namun, Enggartiasto memastikan, kebijakan tersebut masih proposional karena hanya menaikkan tarif PPh impor komoditas tertentu, dan tidak membebankan kepada instrumen perdagangan lainnya. Contoh, kuota atau non tarif lain. Ia berharap, pembatasan impor benar-benar bisa membawa dampak positif dalam menekan defisit neraca perdagangan.

Bank Indonesia (BI) memperkirakan, kinerja neraca perdagangan kita membaik, sejalan dengan konsistensi bauran kebijakan yang bank sentral lakukan dan sejumlah langkah yang pemerintah tempuh untuk mendorong ekspor dan mengendalikan impor. “Termasuk, penundaan proyek-proyek pemerintah yang memiliki kandungan impor yang tinggi,” tambah Agusman, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI.

Yang tidak kalah penting, ekonomi dalam negeri bisa tetap bergerak.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only