Rencana pembatasan impor dengan pengenaan pajak penghasilan (PPh) bukan hal baru, tetapi tetap mengundang pro dan kontra di kalangan pengusaha.
Defisit neraca perdagangan kembali menghantui Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, defisit perdagangan Indonesia periode Januari sampai Juli 2018 tercatat US$ 3,09 miliar. Angka ini mencemaskan, karena paling dalam sejak 2013.
Merespon angka defisit perdagangan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama menterinya berulang kali mencoba cari jalan keluar. Kesimpulannya adalah defisit perdagangan karena laju barang impor jauh lebih tinggi daripada laju kinerja ekspor.
Alhasil, Jokowi beserta pembantunya memutar otak, meracik solusi mencegah defisit perdagangan tenggelam makin dalam. Namun, pilihan solusi tidak banyak, salah satunya membatasi laju impor. Pembatasan impor membidik produk konsumsi yang angka impornya naik banyak.
Cara membatasi impor produk konsumsi belumlah ketemu. Maklum, mengatur impor bak buah simalakama. Pilihan yang tersedia sama-sama pahitnya. Di satu sisi, membatasi impor bisa mengurangi defisit perdagangan, namun mengurangi impor berdampak negatif ke perlambatan ekonomi. Pilihan inilah yang butuh pertimbangan matang.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo Berkaca dari pemerintahan sebelumnya. Saat itu Presiden SBY juga mengalami hal yang sama, adanya defisit neraca perdagangan yang mengkhawatirkan. Kemudian, Presiden SBY menerapkan Pajak Penghasila (PPh) pasal 22.
Hingga kini,aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154 Tahun 2010 itu masih berlaku meski sudah beberapa kali direvisi pada era Presiden Jokowi. Pada zaman SBY, tarif PPh pasal 22 ditetapkan 2,5% bagi importir yang punya API (angka pengenal importir) dan tarif 7,5% untuk mereka yang tidak punya API. Aturan ini mengecualikan produk-produk kedelai, gandum, dan tepung terigu, yang PPh ditetapkan sebesar 0,5%.
Hasil revisi terakhir yang terbit dalam PMK Nomor 34 Tahun 2017, barang impor dibedakan menjadi dua golongan tarif besar. Sebagian masuk kategori tarif 7,5% dan sebagian lagi dikenakan tarif PPh 10%. Tarif Pph mini tetap berlaku untuk komoditas gandum, kedelai, dan bahan bakar.
Adapun produk yang kena PPh pasal 22 dengan tarif 7,5% berjumlah 588 produk. Dan produk yang dikenakan tarif 10% berjumlah 244 produk. Nah, beleid inilah yang menjadi acuan Kementerian Keuangan menaikkan tarif PPh, termasuk kemudian menambah produk yang masuk daftar tarif PPh pasal 22.
Menyulut pro dan kontra
Kebijakan pemerintah untuk mengendalikan laju produk impor dengan menaikkan tarif PPh 22 bukanlah hal baru. Pemerintah telah menerapkan aturan yang sama sejak 2010 dan telah mengalami beberapa kali perubahan. Hasilnya, angka impor Indonesia sampai Juli 2018 masih saja membengkak.
Pemerintah rupanya tak patah arang. Kali ini, Pemerintah mewacanakan menaikkan tarif PPh pasal 22 untuk untuk impor produk konsumsi tersebut. Selain itu, pemerintah berwacana untuk menambah jumlah produk yang masuk daftar produk yang harus membayar PPh pasal 22.
Sayangnya, nama produk baru yang akan masuk sebagai pendatang baru dalam daftar pengenaan PPh pasal 22 masih dikunci rapat-rapat Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan. “Sedang kami teliti (daftar produknya),”kata Suahasil Nazara, Kepala BKF.
Suahasil memberikan gambaran, produk baru yang masuk dalam daftar pengenaan PPh pasal 22 harus produk konsumsi dan angka impornya tinggi. Syarat lainnya, produk itu bisa disubstitusi dengan produk lokal. Jika tak ada aral melintang, Suahasil menargetkan pembahasan revisi aturan PPh pasal 22, bisa kelar September ini.
Meski belum ada perincian jenis barang impor yang akan kena kenaikan tarif PPh, rencana kenaikan tarif PPh ini sudah membuat pengusaha was-was dan bimbang. Salah satunya, Shinta Widjaja Kamdani, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Menurut Shinta, jika menambah daftar produk yang masuk daftar PPh pasal 22, maka pemerintah seharusnya memberitahukan dulu kepada pelaku usahanya. Ia juga mengingatkan agar pemerintah berhati-hati bikin kebijakan ini. Soalnya, “ini juga akan mempengaruhi persepsi negara lain ke Indonesia, “jelas Shinta.
Perlu diketahui, PPh pasal 22 akan dibebankan kepada pelaku bisnis yang memperdagangkan produk. Untuk menyiasati adanya beban PPh, jangka pendek pelaku usaha biasanya memotong margin atau menaikkan harga ke konsumen sesuai dengan beban PPh-nya.
Inilah yang menjadi kekhawatiran banyak pihak. Buntunya, PPh pasal 22 bisa menaikkan harga jual karena ada beban tambahan. “Kami sebenarnya tidak mendukung kebijakan ini. Tetapi jika memang dipaksakan, harus diketahui barang konsumsi apa yang dinaikkan. Karena untuk barang konsumsi dikenakan lagi pajak barang mewah yang sudah tinggi tarifnya, “ungkap Shinta.
Dampak negatif lain untuk kebijakan kenaikan dan penambahan produk yang dikenai PPh pasal 22 adalah, peluang munculnya keberatan dari negara lain. Negara yang merasa dirugikan bisa saja melaporkan Indonesia ke organisasi perdagangan dunia (WTO) kerena dianggap membuat kebijakan perdagangan yang tidak adil. Untuk itu, Shinta meminta pemerintah mendorong kinerja ekspor ketimbang melakukan proteksi impor. “Jangan sampai bikin kebijakan tapi dampaknya tidak signifikan, “ujar Shinta.
Impor e-commerce
Tapi, tak semua pengusaha keberatan dengan rencana kebijakan PPh pasal 22 untuk produk konsumsi impor tersebut. Sunny Iskandar, Ketua Umum HKI (Himpunan Kawasan Industri) bilang, kebijakan PPh pasal 22 justru membawa angin pasar segar bagi pelaku industri manufaktur di dalam negeri. Bahkan Sunny ingin PPh pasal 22 perlu diterapkan untuk semua produk impor yang bisa diproduksi di dalam negeri.
“Nanti target PPh pasal 22 itu adalah produk konsumsi impor. Karena pembelian produk konsumsi impor lewat pasar online dari luar negeri meningkat tajam. Sementara kondisi industri di manufaktur di dalam negeri kita melambat, “terang Sunny. Dengan pengenaan tarif PPh pasal 22, industri manufaktur di dalam negeri berpeluang mendapatkan pesanan produksi.
Dukungan pengetatan impor lewat regulasi PPh pasal 22 juga disampaikan Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI). Menurut dia, pembatasan impor lewat kenaikan tarif PPh pasal 22 bisa mengurangi laju impor dan mengurangi defisit perdagangan. “Hasilnya bisa meningkatkan kinerja industri hulu ke hilir, “jelas Redma.
Redma menyebut, saat ini, konsumsi tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia naik 6% per tahun. Tapi, kenaikan permintaan ini tak dirasakan industri tekstil di dalam negeri. Yang berkembang justru importir tekstil. “Pabrik tekstil dalam negeri bisa mensubstitusi produk impor karena utilisasinya pabrik baru 73,8%, “katanya.
Selain bisa meningkatkan utilisasi pabrik, skala produksi produk tekstil didalam negeri juga bisa ekonomis sehingga bersaing di pasar ekspor. Bagi Redma, defisit perdagangan yang terjadi karenanya tingginya arus impor. Sementara kinerja ekspor tekstil yang menjadi salah satu andalan ekspor di Indonesia tidak bisa maksimal.
Menurut data yang dihimpun Redma, ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) satu dekade terakhir hanya naik 8,2%. Sebaliknya, impor TPT melonjak hingga 57,1%. “Jadi wajar jika surplus neraca perdagangan kita turun drastis dari US$ 7 miliar di 2005 menjadi US$ 3,78% miliar tahun 2017. Perolehan devisa bersih sektor TPT dalam dekade terakhir secara kumulatif juga turun 46%, “terangnya.
Selain melalui mekanisme PPh pasal 22, Redma juga mengusulkan adanya pembatasan impor dengan memaksimalkan instrumen perdagangan lainnya yang direstui oleh WTO. Misalnya penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) serta menerapkan safeguard.
Sumber : Tabloid Kontan
Leave a Reply