Kenaikan tarif PPh belum tentu menekan impor

JAKARTA. Pemerintah resmi menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) impor pasal 22 untuk sejumlah barang impor yang masuk ke dalam negeri. Beleid itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 110/2018 tentang Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang lain.

Peraturan baru itu diundangkan 6 September 2018 dan berlaku seminggu setelah disahkan. Peraturan ini sekaligus merevisi PMK No 34/2017 tentang Pemungutan Pajak. “Jadi, aturan ini berlaku 13 September 2018,” kata Hestu Yoga Saksama, Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Humas Ditjen Pajak kepada KONTAN, Jumat (7/9).

Merujuk pada lampiran PMK yang didapat KONTAN, sebanyak 1.147 barang impor dikenai kenaikan tarif PPh impor. Sebanyak 672 jenis barang terkena PPh sebesar 10% dan 1.077 barang yang kena tarif PPh impor sebesar 7,5%.

Kurang efisien

selain menyasar impor barang konsumsi, impor batubara, mineral logam dan mineral bukan logam juga dikenai PPh pasal 22. Sementara impor kedelai, gandum, dan tepung terigu juga dikenai tarif PPh pasal 22 sebesar 0,5%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap, langkah ini mampu mengendalikan impor di tengah gejolak nilai tukar rupiah. “Kami berharap industri bisa melihat kesempatan untuk mengganti produk itu. Sebab sekarang barang tersebut jad lebih mahal 15%-20%. Ini pemihakan pada industri dalam negeri,” ujar Menkeu, Rabu (5/9).

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Industri Non Bank Sidhi Widyaprathama menilai, kenaikan tarif PPh impor belum tentu efektif menekan laju impor. Meski begitu, “Apakah kebijakan ini efektif menekan impor, ya perlu di coba,” jelas Sidhi.

Sampai dengan Juli 2018 nilai impor Indonesia mencapai US$ 107,32 miliar. Jumlah tersebut meningkat sekitar 24,48% dibandingkan dengan periode sama tahun 2018.

Sidhi berhadap, industri di dalam negeri akan tumbuh, jika impor barang jadi bisa di tekan. Sebab, dengan tarif pajak lebih tinggi, harga barang impor berpeluang meningkat. “Terutama untuk barang, mewah, sehingga diharapkan industri domestik memproduksinya,” ungkap Sidhi.

Darussalam, pakar pajak yang juga Managing Partner Danny Darussalam Tax Centre (DDTC) menilai, instrumen PPh 22 sudah sering dipakai pemerintah untuk menekan impor. Tahun 2013, pemerintah menambah daftar barang impor yang terkena PPh pasal 22.

Namun hasilnya tidak optimal menekan impor. Lagi pula, “Tidak ada hubungan yang jelas antara defisit neraca perdagangan dengan rezim PPh 22 impor,” kata Darussalam. Dus, perlu terobosan lain menyehatkan neraca perdagangan, bukan hanya mengandalkan PPh pasal 22.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only