Kejar Pajak Online dengan Kartu Sakti

Ditjen Pajak serius membidik pajak perdagangan elektronik. Selain regulasi, kantor pajak menyiapkan kartu multifungsi untuk memaksimalkan data transaksi.

Upaya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menggali potensi penerimaan pajak nyaris tanpa henti. Selain demi mengeja target penerimaan yang saban tahun naik, upaya mengulik data juga untuk menggenjot rasio pajak (tax ratio) yang baru sebesar 11%.

Nah, salah satu sektor usaha yang Ditjen Pajak anggap seksi saat ini adalah perdagangan elektronik (e-commerce). Selama ini, pajak transaksi jual beli online belum tergali betul. Padahal potensi pajaknya terbilang tinggi, lo. Tentu, ini bisa menjadi amunisi baru kantor pajak untuk menambah pundi-pundi penerimaan negara.

Merujuk data Bank Indonesia (BI) jumlah pengguna internet yang berbelanja online di tanah air mencapai 24,7 juta orang di 2016. Total nilai berbelanjanya mencapai Rp 75 triliun. Itu tahun 2016, sudah barang tentu pada 2017 dan 2018, jumlah yang berbelanja daring dan nilainya lebih besar lagi.

Namun, sebagai bisnis model yang baru, hingga sekarang pemerintah belum memiliki kebijakan yang mengatur secara khusus pajak atas transaksi online. Cuma, “sekarang lagi kami siapkan aturannya,” ungkap Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Robert Pakpahan.

Menurut Robert, pembahasan calon beleid itu melibatkan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan serta para pemilik situs e-commerce dalam negeri. “Kami juga berdiskusi dengan pemain pasar e-commerce untuk memahami bisnisnya,” kata Robert.

Kelak, peraturan tersebut akan mengatur banyak hal. Misalnya, mewajibkan para pelapak atau merchant di situs e-commerce memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Mereka juga harus memberikan data ke Ditjen Pajak. Dengan begitu, kantor pamajak bisa menerapkan sistem self-assessment dalam proses pemajakan.

Jika merchant masuk kategori usaha kecil dan menengah (UKM), maka mereka terkena pajak sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Sesuai beleid tersebut, besaran PPh final bagi wajib pajak UKM sebesar 0,5%. “Jadi, nanti tinggal dihitung omzet setiap bulannya kemudian dikalikan 0,5% yang bisa disetorkan kepada kantor pajak,” ujar Robert.

Lewat bakal beleid yang sekarang sedang Ditjen Pajak siapkan, pemerintah ingin menciptakan kesempatan yang sama antara e-commerce dengan model bisnis konvensional. Tujuannya, supaya ada keadilan pajak atas toko konvensional maupun online.

“Pada prinsipnya, pemerintah harus memastikan pemajakan atas transaksi elektronik sama dengan konvensional. Jadi, mau online ataupun konvensional akan sama pajaknya, baik PPN (pajak pertambahan nilai) maupun PPh,” tegas Robert.

Kartu multifungsi

Nah, kebijakan itu kelak berbentuk peraturan menteri keuangan (PMK). Ini akan melengkapi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (TPMSE) yang dirilis pada 2018.

Direktur Jenderal Perdagagan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti mengatakan, RPP E-Commerce akan terbit setelah pembahasan di tingkat kementerian selesai. Setelah itu, bakal aturan ini dikirim ke Kementerian Sekretariat Negara (Setneg). “RPP E-Commerce saat ini sudah sampai di Setneg menunggu pengesahan dari Presiden,” imbuh Tjhaya.

Selain menyiapkan regulasi, Ditjen Pajak juga harus berusaha memaksimalkan data perpajakan, termasuk dari transaksi online. Salah satunya, dengan menyiapkan kartu multifungsi yang dinamakan Kartu Indonesia 1 alias Kartin1.

Kartu sakti multifungsi tersebut bakal mengintegrasikan identitas pemilik kartu, seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan NPWP dengan kartu lainnya. Sebut saja, kartu debit atau uang elektronik.

Lewat kartu ini, Ditjen Pajak berharap bisa mendapatkan rekaman belanja online dan perilaku masyarakat di media sosial untuk keperluan analisis pajak. Apalagi, kantor pajak juga sudah punya sistem Sosial Network Analytics (Soneta) yang bisa merekam aktivitas masyarakat di jejaring sosial.

“Dari sistem itu, kami akan tahu, wajib pajak itu belanja apa saja, pergi ke mana saja, dengan siapa,” kata Iwan Djuniardi, Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Ditjen Pajak.

Dengan begitu, diharapkan pemantauan yang dilakukan melalui e-commerce bisa lebih disiplin. Selama ini, aktivitas digital ekonomi sulit di pantau karena identitas saja bisa dipalsukan dengan memakai identitas milik orang lain.

Sedang lewat Kartin 1 dengan identitas digital, setiap masuk website harus log in dahulu. “Otomatis, negara akan tahu siapa dia,” kata Iwan.

Saat ini, Ditjen Pajak telah menggandeng empat bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk mengemas kartu Kartin1. Tahap awal, kartu tersebuthanya bisa digunakan kalangan internal Ditjen Pajak. Saat ini, sudah terbit sebanyak 120 kartu. “Targetnya, penerbitan Kartin1 akan mencapai 40.000 kartu untuk karyawan Dirjen Pajak,” ujar Iwan.

Setiap bank akan menerbitkan kartu kartin1 dengan platform yang berbeda. Misalnya, Bank Mandiri akan mengeluarkan kartu Kartin1 dengan model uang elektronik, sedang Bank Negara Indonesia (BNI) melalui uang elektronik dan kartu debit. Adapun Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) meluncurkan Kartin1 berbasis kartu debit.

Bukan cuma itu, penerbitan kartu Kartin1 juga menyebar. Rencananya, kartu berlabel BRI beredar di kantor pusat Ditjen Pajak, kemudian kartu dengan label BNI ada di kantor pajak, wiliyah Malang. “Lokasinya menyebar,” ucap Iwan.

Restu Bank Indonesia

Saat ini, Kartin1 ini masih proses di uji coba oleh Ditjen Pajak. Jika BI merestui, Ditjen Pajak bakal menawarkan kartu itu ke nasabah. Adapun proyek uji coba atau pilot project akan berakhir pada 2018. “Setelah uji coba sesuai, kami akan menunggu keputusan BI, boleh atau tidak diterbitkan kepada nasabah,” tambah Iwan.

Direktur Potensi dan Kepatuhan Perpajakan Ditjen Pajak Yon Arsal menambahkan, kartu Kartin1 bisa digunakan untuk menyisir pajak di industri online. Dengan syarat, BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mau membuka data transaksi keuangan pemegang kartu.

Tanpa izin BI, Ditjen Pajak tidak memperoleh data transaksi dari kartu Kartin1 karena semua sistem ada di perbankan. “Kami tidak bisa lihat data ini jika tidak ada rekomendasi dan persetujuan,” sebut Yon.

Hingga saat ini, pelaku e-commerce yang tergabung di Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) masih belum memperoleh informasi lengkap terkait mekanisme Kartin1. Wakil Ketua Umum Bidang Goverment Relation idEA Mohammad Rosihan bilang, asosiasi belum diajak berdiskusi mengenai penerapan kartu itu. “Seperti apa dan bagaimana caranya,” ungkap dia.

Hanya menurut Rosihan upaya memungut pajak transaksi online tidak mudah karena industri e-commerce lintas kementerian dan lembaga. Contohnya, masalah yang menyangkut pembayaran (payment) ada di BI, persoalan perlindungan konsumen wewenang Kementerian Perdagangan, sementara produk di Kementerian Kesehatan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Perindustrian.

Urusan perpajakan, tentu ada di Kementerian Keuangan. “Jadi, pembahasan aturannya memakan waktu lama. Tapi, apapun aturannya, kami siap bekerjasama dana jadi mitra pemerintah,” ujar Rosihan.

Jadi siap-siap menjadi objek perburuan Ditjen Pajak.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only