Kebijakan Pajak Capres: Jokowi Melanjutkan, Prabowo Agresif

Jakarta – Pajak adalah instrumen vital dalam penyelenggaraan negara. Kontribusi rakyat melalui pajak digunakan pemerintah untuk mendanai pembangunan baik fisik maupun non-fisik. Tanpa pajak, negara bisa dibilang lumpuh karena kekurangan ‘darah’.

Pajak adalah sebuah kontrak wajib dalam kehidupan bernegara. Pajak merupakan kontribusi wajib bagi rakyat, dan negara punya hak untuk memungutnya. Begitu pentingnya pajak sampai tokoh besar Amerika Serikat (AS) Benjamin Franklin menyatakan hanya ada dua hal yang pasti di dunia ini; kematian dan pajak.

Oleh karena itu, isu perpajakan menjadi salah satu hal sentral dalam visi-misi dua pasangan kandidat pemimpin Indonesia 2019-2024. Baik Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menjadi pajak sebagai salah satu fokus pembenahan jika mendapat mandat rakyat untuk memimpin Tanah Air.

Di kubu pasangan nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf, setidaknya ada dua program terkait pajak yaitu:

  1.    Melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional, dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing.
  2.    Memberikan insentif pajak bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Well, Jokowi adalah kandidat petahana (incumbent) sehingga wajar ketika dirinya menawarkan untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dirintis sejak 2014. Memang ada beberapa pekerjaan rumah dalam reformasi pajak yang belum diselesaikan.

Pilar pertama reformasi pajak adalah soal Sumber Daya Manusia (SDM). Kompetensi maupun integritas pegawai pajak (fiskus) memang harus terus dikawal.

Bukan apa-apa, pajak masih menjadi lahan korupsi yang subur. Gayus Tambunan adalah contoh klasik, tetapi ternyata dia bukan yang terakhir. Handang Soekarno, Ramli Anwar, dan lain-lain adalah bukti bahwa revolusi mental di tubuh Direktorat Jenderal Pajak belum usai.

Pilar kedua adalah proses bisnis dan struktur organisasi pajak. Ditjen Pajak memiliki 33 Kantor Wilayah yang tentunya harus semakin efektif dan efisien dalam melakukan tugasnya.

Bahkan dalam hal struktur organisasi sempat ada wacana untuk memisahkan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan melalui pembentukan Badan Penerimaan Negara. Dengan begitu, otoritas pajak memiliki keleluasaan dalam membuat kebijakan sampai pembenahan SDM. Namun sepertinya isu ini tenggelam dan belum dibicarakan kembali.

Pilar ketiga adalah teknologi informasi. Pada era digital seperti sekarang, keterlibatan teknologi informasi mutlak diterapkan dalam kebijakan pajak. Teknologi informasi bisa sangat membantu dalam penentuan profil Wajib Pajak (WP), proses pemungutan, sampai perumusan kebijakan.

Bahkan melalui teknologi informasi WP tidak perlu bertemu muka dengan fiskus. Dengan begitu, potensi kongkalikong bisa diredam.

Pilar terakhir adalah perundang-undangan. Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah besar. Sebab, praktis belum ada pembaruan dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), maupun Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). P

adahal, sudah banyak perkembangan yang harus direspons melalui perubahan serangkaian UU tersebut. Mulai dari apakah Ditjen Pajak jadi dipisah dari Kementerian Keuangan, tata cara perpajakan terhadap transaksi online, dan sebagainya.

Banyaknya tugas itu membuat Jokowi-Ma’ruf bertekad untuk melanjutkan reformasi pajak yang sudah dirintis 4 tahun terakhir. Melanjutkan saja sudah merupakan tugas yang mahaberat.

Melalui reformasi pajak, diharapkan kepatuhan WP pun meningkat. Kepatuhan ini juga menjadi isu besar, karena trennya menurun.

 

Sumber : cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only