JAKARTA – Pemerintah tengah aktif melobi negara-negara tujuan ekspor untuk memberikan fasilitas kemudahan bagi eksportir asal Indonesia.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Heru Pambudi mengatakan sejauh ini pemerintah tengah melobi Malaysia untuk menerapkan skema yang kemudian dikenal dengan istilah Mutual Recognition Arangement (MRA). Dengan skema ini, pemerintah berharap para eksportir mendapat jaminan dalam melakukan aktivitas berusaha.
“Untuk yang pertama ini, kami telah berbicara dengan bea cukai Malaysia. Kami akan segera melakukan tahapan verifikasi untuk melaksanakan kebijakan tersebut,” ungkapnya kepada Bisnis, Senin (24/9/2018).
MRA merupakan kerja sama Business-to-Business (B2B) antara pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi eksportir salah satu negara yang terikat dengan komitmen kerja sama.
Kerja sama tersebut bersifat resiprokal. Artinya, jika importir asal negara A memperoleh kemudahan baik fiskal maupun regulasi dari Indonesia, maka negara asal importir tersebut juga diharapkan memberikan fasilitas serupa kepada eksportir asal Indonesia.
Heru menjelaskan proses verifikasi yang dilakukan akan melihat berbagai aspek, misalnya pengecekan Standard Operating Procedure (SOP) untuk memastikan otoritas kepabeanan suatu negara menggunakan standar yang sama dengan otoritas kepabeanan di negara tujuan.
“Setelah itu, baru akan dilakukan verifikasi kepada perusahaan-perusahaan yang akan dikerjasamakan,” terangnya.
Malaysia hanya satu dari sekian banyak negara yang sedang diusahakan oleh Pemerintah Indonesia untuk menerapkan MRA. Tidak tertutup kemungkinan negara-negara menjadi tujuan ekspor utama Indonesia lainnya seperti Jepang, Australia, Hong Kong, China, dan Belanda juga menerapkan kebijakan tersebut.
“Itu nanti perlu waktu pelaksanaannya, biasanya perlu 3-6 bulan untuk 1 negara,” sebut Heru.
Langkah otoritas kepabeanan tersebut merupakan respons terhadap arahan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang menginginkan jajarannya untuk habis-habisan menggenjot kinerja neraca perdagangan Indonesia. Bahkan, bekas Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga mengaku tak akan berhenti ngomel jika defisit transaksi berjalan tak mengalami perbaikan.
“Saya tak segan mendorong, menekan agar institusi di seluruh Kemenkeu menggunakan policy, instrumen dan dari sisi aksi di lapangan yang memiliki interaksi langsung pelaku ekonomi, harus terus membuka pikiran, apa yang perlu diperbaiki,” tegas Sri Mulyani.
Menurutnya, perbaikan dari aspek pengelolaan anggaran yang diukur dari kredibilitas anggaran maupun perolehan opini wajar tanpa pengeculian saja tak cukup. Dengan instrumen kekuasaan dalam pengelolaan fiskal yang cukup besar, berbagai kewenangan yang dimiliki Kemenkeu harus bisa memecahkan persoalan struktural.
“Harus punya power untuk mendobrak lebih keras lagi,” tambah Menkeu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia defisit US$1,02 miliar pada Agustus 2018. Namun, angka ini lebih rendah jika dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang defisit US$2,03 miliar.
Defisit bulan lalu disebabkan oleh ekspor yang hanya US$15,82 miliar, lebih rendah dari impor yang mencapai US$16,84 miliar.
Sumber : bisnis.com
Leave a Reply