NAVIGASI PERPAJAKAN: Kenapa Tarif PPnBM CBU & CKD Disamakan?

JAKARTA — Kementerian Perindustrian dan kalangan pelaku usaha di sektor otomotif kompak meminta pemerintah untuk menghapus tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

Sebelum muncul opsi ini, para pelaku usaha mengusulkan kepada pemerintah supaya menurunkan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) bagi mobil yang dirakit secara utuh untuk mendorong investasi otomotif.

Saat ini, PPnBM yang dikenakan, baik bagi mobil impor secara utuh (completely built-up/CBU) maupun terurai (completely knocked down/CKD) masih sama sehingga memengaruhi minat untuk berinvestasi di Indonesia.

Tarif mengenai PPnBM sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.33/PMK.03/2017 tentang Jenis Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pemberian Pembebasan Dari Pengenaan Pajal Penjualan atas Barang Mewah.

Berdasarkan peraturan tersebut, pemerintah membedakan PPnBM sedan atau station wagon dengan kendaraan bermotor lain. Sedan dengan mesin hingga 1.500 cc dikenai pajak sebesar 30%, sedangkan  mesin 1.501 cc sampai dengan 3.000 cc 40%. Tarif pajak tertinggi, yakni sebesar 125% diberikan kepada sedan dengan kapasitas mesin di atas 3.001 cc.

Tarif pajak tersebut jauh berbeda dengan jenis kendaraan lain yang memiliki kubikasi mesin kurang dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc. Kendaraan selain sedan dikenakan PPnBM sebesar 10%—20%.

Kendati demikian, Ditjen Pajak menyebutkan bahwa penyamarataan tarif bagi mobil CBU dan CKD merupakan implikasi atas pertimbangan perdagangan global. Persamaan tarif atas kedua mobil ini juga bagian dari upaya menjaga kredibilitas pemerintah dalam perdagangan bebas.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menjelaskan bahwa seandainya terjadi ketidaksamaan tarif baik bagi CBU maupun CKD akan berdampak terhadap netralitas PPN (dan PPnBM) dalam perdagangan internasional terutama atas barang atau kelompok barang yang sama diterapkan tarif yang berbeda antara yang impor dengan produksi lokal.

“Itulah kenapa masalah kandungan lokal tidak pernah lagi menjadi pertimbangan dalam penerapan tarif PPnBM sejak 2000-an,” kata Yoga kepada Bisnis, Minggu (30/9).

Yoga menyebutkan bahwa instrumen pajak untuk mendorong produksi dalam negeri (termasuk kendaraan bermotor) sudah dilakukan melalui pengendalian impor, termasuk kendaraan bermotor impor built up, dengan menaikkan tarif PPh Pasal 22 Impor menjadi 10% (PMK 110/2018). Efek kebijakan ini dapat menaikkan harga mobil impor hingga tiga kali lipat.

Dari sisi PPh Pasal 22 impor ini tidak akan menjadi masalah karena merupakan pajak dibayar dimuka yang dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan.

“Skema yang tepat tentunya bea masuk, tetapi tentunya itu sudah dilakukan sesuai koridor-koridor perjanjian perdagangan bebas,” jelasnya. (Edi Suwiknyo)

Sumber : bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only