OJK kaji temuan BPK terkait utang pajak badan

Jakarta  – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengkaji temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan pemerintah maupun pihak terkait mengenai persoalan utang pajak penghasilan (PPh) badan yang belum sepenuhnya dilunasi.

“OJK sedang mengkaji dengan pemerintah dan pihak terkait lainnya mengenai kebijakan akuntansi pemanfaatan pungutan yang menjadi objek pajak, termasuk dalam hal ini besaran jumlah pajak dan waktu pembayarannya,” kata Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Hal tersebut diungkapkan Anto dalam menanggapi hasil pemeriksaan BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I-2018 yang menyatakan bahwa OJK masih belum melunasi utang PPh badan per 31 Desember 2017 sebesar Rp901,1 miliar.

Anto mengatakan OJK sejak 2014 dan 2015 sudah membayar kewajiban pajak sebesar Rp836,72 miliar sehingga utang PPh badan yang menjadi hasil pemeriksaan BPK merupakan akumulasi dari PPh badan yang belum dilunasi pada 2015, 2016 dan 2017.

Untuk mengangsur kewajiban PPh badan, OJK menggunakan kelebihan realisasi anggaran sebesar Rp9,75 miliar, yang juga menjadi salah satu temuan hasil pemeriksaan oleh BPK, karena dana itu merupakan pungutan yang melebihi pagu anggaran.

Dalam pemeriksaan itu, BPK juga menemukan adanya penerimaan pungutan pada 2015-2017 setelah diperhitungkan realisasi kebutuhan sebesar Rp439,91 miliar yang belum disetor kepada kas negara.

Anto menjelaskan kelebihan realisasi tersebut digunakan untuk dana imbalan kerja jangka panjang lainnya sesuai amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dikelola sendiri oleh OJK dalam upaya pemenuhan kewajiban kepada karyawan.

Berdasarkan ketentuan PSAK 24, dana imbalan kerja dapat dikelola dikelola secara mandiri atau melalui partisipasi pihak ketiga dalam bentuk aset program.

“Namun, berdasarkan rekomendasi BPK, pengelolaan dana imbalan kerja OJK diwajibkan melalui pengelolaan pihak ketiga karena OJK tidak dibolehkan melakukan pencadangan untuk memenuhi kewajiban jangka panjang,” katanya.

Temuan pemeriksaan BPK lainnya adalah adanya gedung yang sudah disewa dan dibayar OJK sebesar Rp412,31 miliar yang tidak dimanfaatkan serta adanya aset tetap dan tak berwujud yang tercatat dalam neraca dan berasal dari APBN yang belum ditetapkan statusnya oleh Kementerian Keuangan.

OJK juga dinilai BPK telah menggunakan gedung kantor Menara Merdeka yang telah habis masa sewa tidak berdasarkan kontrak dan nilai sewanya belum jelas.

Untuk persoalan kelogistikan ini, Anto mengatakan tidak dimanfaatkannya sewa gedung guna mencegah pengeluaran yang lebih besar dan ancaman rent-trap karena OJK akan tergantung dari harga sewa yang cenderung meningkat.

Dengan kondisi ini, OJK masih memakai gedung milik Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan sampai OJK mempunyai gedung sendiri di pusat maupun di daerah.

“Untuk dapat memiliki gedung sendiri, OJK telah diberi peluang oleh Kementerian Keuangan dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memanfaatkan aset barang milik negara dan BUMN,” jelas Anto.

Saat ini, menurut Anto, OJK sedang menyiapkan berbagai opsi yang ditawarkan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN termasuk mendapatkan asistensi dari Kejaksaan Agung agar tata kelola tetap terjaga dengan baik dan benar.

Sedangkan, terkait kontrak sewa penggunaan gedung kantor Menara Merdeka, OJK sudah melakukan kesepakatan dengan manajemen gedung dan pembayaran akan dilakukan pada Oktober 2018.

Meski mendapatkan sejumlah temuan, OJK memberikan apresiasi kepada BPK yang telah mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan tahunan OJK sejak 2013 hingga 2017 atau selama lima tahun berturut-turut.

Hal tersebut telah menunjukkan adanya peningkatan tata kelola OJK secara bersinambungan.

Sumber: antaranews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only