Jual Minyak ke RI Terkendala Pajak, Ini 3 Usulan ESDM

Jakarta, CNBC Indonesia- Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah saat ini tengah melakukan evaluasi dan berdiskusi terkait aturan pajak bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang akan menjual minyak bagian ekspor mereka ke dalam negeri.

Lebih lanjut, ia menyebutkan, dari diskusi tersebut, ada tiga usulan yang dihasilkan. Djoko menjelaskan, yang pertama yakni pengecualian pajak. Ia mencontohkan, ketika minyak dari Indonesia diekspor ke Singapura, tidak dikenakan pajak. Sehingga, pada dasarnya skema ini sama saja apabila minyak jatah ekspor tersebut dijual di dalam negeri.

“Kami berpikir secara logika. misalnya minyak bagian kontraktor dijual ke Singapura, Indonesia dapat pajak tidak? Kan tidak, yang dapat uang pajak ya Singapura. Kalau jual ke sini sebenarnya Indonesia tidak dapat pajak tidak masalah juga, kan sama-sama tidak dapat pajak,” terang Djoko.

“Tapi ada benefit bagi negara ga? Ada, yaitu kurangi impor, ongkos transportasi paling tidak jadi hemat. Kalau berpikirnya begitu, ya harusnya jangan dikenakan pajak,” tambah Djoko.

Kendati demikian, usulan ini terbentur adanya aturan yang mengatakan apapun transaksinya harus kena pajak. “Ini yang lagi dibahas apakah ada pengecualian, perlu tidak ada PMK terkait minyak kontraktor yang djual ke dalam negeri tidak kena pajak. Ini salah satu solusi,” ujar Djoko.

Usulan kedua yakni, badan usaha yang menjual minyak ekspor bisa dikenakan pajak 44% ditambah harga ICP plus minimal US$ 1. Djoko menuturkan, jika mengikuti ketentuan saat ini, 44% berasal dari total pajak yang dikenakan dalam melakukan penjualan minyak bidang hulu migas. 

“Jadi 44% itu kan pada dasarnya dikembalikan lagi karena buat bayar ke negara. Tapi, ini lagi dilihat juga, kalau kena skema ini, bagaimana harganya, apa jadi lebih murah atau mahal. Kalau lebih mahal, sebagai pengusaha lebih baik impor kan?” jelas Djoko.

Usulan terakhir yakni mengenakan pajak yang sama dengan negara lain. Misalnya di Singapura penjualan minyak dikenakan pajak sebesar 17%, maka di Indonesia juga dikenakan pajak yang besarnya sama. Sehingga, paling tidak ada penghematan di kedua belah pihak, juga hemat ongkos transportasi.

“Ini baru diskusi. Diusulkan atau tidak itu nanti SKK Migas yang ajukan. Saya belum dapat laporan, dan memang masih dibahas. Pak Menteri ESDM (Ignasius Jonan) sudah perintahkan SKK Migas bikin draft usulan ini Senin (1/10/2018) kemarin, selesainya secepatnya,” tambahnya.

“Intinya, ini kan skemanya business to business (B to B), kalau jadi lebih mahal dibandingkan impor, ya mendingan impor kan,” kata Djoko.

Sebelumnya, beberapa KKKS mengaku masih belum bisa melaksanakan kebijakan menjual minyak jatah ekspor mereka ke PT Pertamina (Persero), lantaran masih mengalami berbagai kendalanya, salah satunya masalah pajak.

Diketahui, salah satu kontraktor yang terkendala pajak adalah Chevron. Padahal, perusahaan asal AS ini bersedia menjual 100 ribu barel per hari (bph) ke Pertamina. Bahkan, Chevron dan Pertamina sudah tidak ada masalah lagi mengenai harga. 

“Harga business to business, sudah oke. Tinggal klarifikasi mengenai pajak,” ujar Djoko di Jakarta, Rabu (5/9/2018).

Sumber cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only