Dirjen Pajak Tak Khawatir Diskon PPh Bunga Obligasi Persulit Bank

Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menilai positif penurunan pajak imbal hasil obligasi dalam mendukung pendalaman pasar keuangan.

Rencana pemerintah menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) bunga surat utang atau obligasi pemerintah dan swasta berisiko mempersulit penghimpunan dana perbankan. Namun, Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan tak mengkhawatirkan risiko tersebut.

Menurut dia, insentif semacam itu positif untuk pendalaman pasar keuangan serta membantu pemerintah dan swasta penerbit obligasi. “Masyarakat bisa belajar instrumen lainnya, karena selama ini hanya tahu deposito. Jarang beli surat utang atau saham,” kata dia di kantornya, Jakarta, Rabu (3/10).

Pemerintah tengah mengkaji kemungkinan penurunan tarif PPh bunga obligasi. Saat ini, PPh bunga atau diskonto dari obligasi ditetapkan 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sementara, wajib pajak luar negeri selain BUT dikenakan PPh bunga sebesar 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran.

Robert berharap penurunan tarif PPh tersebut dapat membuat minta masyarakat terhadap surat utang negara (SUN) meningkat. Alhasil, mempermudah pendanaan berbagai proyek infrstruktur. “Semakin atraktif instrumennya (SUN),” kata dia. Dengan semakin banyaknya peminat, ia pun berharap permintaan imbal hasil bisa semakin rendah sehingga biaya utangan lebih murah.

Di sisi lain, pemerintah sebetulnya tengah menyiapkan perbaikan kebijakan terkait diskon PPh bunga deposito devisa hasil ekspor. Tujuan utamanya, agar eksportir betah menempatkan pendapatan ekspornya dalam bentuk simpanan di perbankan dalam negeri. Namun, dari segi perbankan, perbaikan kebijakan tersebut bisa menjadi insentif dalam penghimpunan dana bank.

Hanya saja, dampak perbaikan kebijakan tersebut terhadap penghimpunan dana perbankan masih perlu ditinjau seiring waktu. Sebab, perbaikan kebijakan bukan dalam bentuk diskon PPh, seperti yang berencana dilakukan terhadap PPh imbal hasil obligasi. Perbaikan yang akan diterapkan di antaranya, diskon PPh bisa tetap diberlakukan untuk perpanjangan deposito atas devisa hasil ekspor (rollover).

Sebelumnya, Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai kebijakan penurunan tarif PPh bunga obligasi tidak perlu. Sebab, penurunan tarif bisa membuat perbankan menghadapi risiko perebutan dana dan kondisi ini bisa menyulitkan perbankan.

Menurut dia, investor bisa jadi bakal lebih memilih untuk menempatkan dananya di obligasi dibandingkan deposito bank. Apalagi, obligasi lebih mudah dicairkan dibandingkan deposito yang memiliki jangka waktu penempatan.

Peringatan Lana tersebut beralasan. Apalagi, bila melihat likuiditas perbankan yang tengah ketat saat ini. Mengacu pada data Bank Indonesia (BI), pertumbuhan dana nasabah alias dana pihak ketiga (DPK) tercatat semakin melambat. Pada Juni lalu, pertumbuhan DPK tercatat sebesar 7%, lalu melambat menjadi 6,91% pada Juni, dan melambat kembali menjadi hanya 6,88% per Agustus.

Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kredit yang tumbuh semakin kencang. Pada Juni lalu, pertumbuhannya sebesar 10,75%, lalu naik menjadi 11,34% pada Juli lalu. Seiring kondisi tersebut, rasio kredit terhadap DPK (loan to deposit ratio/LDR) tercatat semakin tinggi.

Per Juli lalu, LDR bank umum berada di level 93,11%, dengan rincian kredit kepada pihak ketiga bukan bank sebesar Rp 4.784,8 triliun, dan DPK sebesar Rp 5.138,72 triliun, atau selisih Rp 353,92 triliun. Prediksi BI, perlambatan pertumbuhan DPK masih akan berlanjut, sehingga selisih antara kredit dan DPK diperkirakan hanya berkisar Rp 99 triliun di akhir 2018.

Adapun sejauh ini, Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto meyakinkan menipisnya selisih antara DPK dan kredit tak perlu dikhawatirkan. “Ini bisa ditutup kelebihan pendanaan yang di simpanan dalam operasi moneter,” kata dia, akhir September lalu.

Sumber : katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only