Kemperin ingin relaksasi PPnBM bagi mobil jenis sedan beremisi rendah dan hemat bahan bakar

JAKARTA. Rencana pemberian insentif untuk industri otomotif berupa relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang tengah diusulkan oleh Kementerian Perindustrian  (Kemperin) ke Kementerian Keuangan (Kemkeu), kembali mencuat.

Skema baru yang diinginkan Kemperin adalah melalui penurunan hingga penghapusan tarif, khusus mobil sedan dan kendaraan listrik. Kemperin usul agar perhitungan tarif PPnBM tak lagi ditentukan berdasar tipe kendaraan, ukuran mesin, dan peranti penggerak; melainkan berdasarkan hasil uji emisi karbondioksida (CO²) dan volume silinder (ukuran mesin). Adapun batas emisi yang diusulkan terendah 150 gram (g) per kilometer (km) dan tertinggi yaitu 250 g per km. Tarif yang diusulkan antara 0%-50%. Semakin rendah emisi dan volume mesinnya, pajak yang dibayarkan semakin murah.

Tak hanya itu, Kemperin juga mengusulkan agar kendaraan emisi karbon rendah atau low carbon emission vehicle (LCEV) dan kendaraan bermotor hemat bahan bakar dan harga  terjangkau (KBH2) diberikan perlakukan PPnBM khusus, yaitu dengan memberlakukan tarif PPnBM sebesar 0%–30%.

Gabungan Industri Kendaraan  Bermotor  Indonesia (GAIKINDO) mencatat, Indonesia  belum  berhasil  mengekspor sedan. Selama ini, ekspor mobil Indonesia didominasi  jenis  multi  purpose vehicle (MPV) dan sport utility vehicle (SUV). Padahal pasar mobil jenis sedan di luar negeri cukup besar. “Kami sedang menggenjot produksi sedan untuk memperluas pasar ekspor,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartato belum lama ini. Selain itu, pihaknya juga tengah  fokus pada pengembangan produksi kendaraan listrik.

Kepala  Pusat  Kebijakan Pendapatan  Negara  Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu Rofyanto Kurniawan mengatakan, hingga saat ini usulan itu masih di bahas oleh internal pemerintah di tingkat kementerian.  Kementerian yang dimaksud tak hanya dengan Kemperin, tetapi juga dengan Kementerian Perdagangan (Kemdag), Kementerian Koodinator (Kemko)  Bidang Perekonomian, hingga Kantor Staf Presiden (KSP).

Ketua I GAIKINDO Jongkie Sugiarto  berharap,  usulan tersebut bisa segera direalisasikan agar harga mobil sedan bisa terjangkau dan volume produksinya meningkat sejalan dengan minat pembelian yang lebih bergairah hingga ke mancanegara. Selama ini, produksi mobil sedan masih menjadi  persoalan  lantaran tarif pajak yang mahal.

Itu  pula  yang  menjadikan Indonesia sebagai basis produksi  MPV.  Padahal,  pasar dunia  masih  dikuasai  oleh mobil sedan. “Ibarat buka restoran,  Indonesia  cuma  jual nasi goreng. Sementara Thailand  jual  nasi  goreng,  soto, dan macam-macam. Thailand produksi  sedan,  SUV,  MPV, pick-up, hampir semua jenis ada,”  katanya  kepada  KONTAN, Minggu (7/10).

Menurut  Jongkie,  selain perhitungan  PPnBM  berdasarkan emisi karbondioksidanya  dan  tarif  khusus  bagi kendaraan  yang  termasuk program LCEV, pihaknya juga mengusulkan  keberlanjutan insentif PPnBM 0% bagi mobil enis  low  cost  green  car (LCGC) berkomponen lokal dan mengusulkan untuk tidak lagi  membedakan tarif pajak antar jenis  mobil. “Supaya dipertimbangkan tarif mengacu standar internasional saja, yaitu antara mobil berkapasitas penumpang di atas atau di bawah 10 orang,” tambahnya.

Tidak Relevan

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analisys (CITA) Yustinus Prastowo menilai, pemberlakuan PPnBM terhadap mobil sedan sendiri sejatinya sudah kurang tepat. Sebab di luar negeri, mobil yang dibebankan pajak mahal, yaitu yang beremisi karbon tinggi melalui pengenaan tarif cukai. Menurutnya, jika mekanisme pengenaan pajak berdasarkan kriteria saat ini maka mobil dengan tipe  dan  harga  yang  mahal tapi  ramah  lingkungan,  justru  terkena  tarif  PPnBM tinggi dan jadi  makin  tidak terjangkau.

Selain itu, ia juga menilai bahwa mobil sedan saat ini buka lagi golongan kendaraan mewah. Justru ada jenis mobil non-sedan yang masuk kategori mewah namun kena PPnBM lebih rendah.

Sementara dampak penurunan PPnBM mobil sedan terhadap penerimaan pajak,ia perkirakan tidak begitu besar karena selama ini sumbangannya juga tidak terlalu signifikan. Hingga akhir September 2018, dari total penerimaan pajak sebesar Rp 900,82 triliun, realisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM hanya Rp 351,51 triliun.   

sumber ortax

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only