Memang Masih Ada Celah Bagi Pegawai Pajak Culas

Jakarta — Kementerian Keuangan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali mendapatkan tamparan. Di tengah upaya mereka memperbaiki citra Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan menggenjot penerimaan, pegawai mereka melakukan perbuatan tak terpuji.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Ambon, La Masikamba dan supervisor atau pemeriksa pajak KPP Pratama Ambon Sulimin Ratmin, Rabu (3/10). Kedua orang pegawai pajak tersebut ditangkap karena diduga menerima suap Rp320 juta yang diberikan secara bertahap atas jasa mereka mengurangi kewajiban pajak pemilik CV AT Anthony Liando dari Rp1,7 sampai Rp2,4 miliar menjadi Rp1,037 miliar.

Penangkapan tersebut makin menambah panjang daftar pegawai pajak yang mencoreng muka Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Sri Mulyani sebagai bos kementerian tersebut. Sebelumnya, sejumlah pegawai pajak (fiskus) culas juga harus menjadi pesakitan karena menerima suap dari wajib pajak yang ingin memanipulasi kewajiban pajak mereka.

Pegawai pajak culas tersebut adalah mantan Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Handang Soekarno yang ditangkap 2016 silam karena menerima suap senilai Rp1,9 miliar dari wajib pajak Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP) Ramapanicker Rajamohanan Nair. Suap yang diterima Handang baru sebagian dari harga yang dijanjikan oleh Rajamohanan sekitar Rp6 miliar.

Uang tersebut sebagai pelicin berbagai permasalahan pajak PT EKP, mulai dari pengajuan restitusi, Surat Tagihan Pajak Pertambahan Nilai (STP PPN), penolakan Tax Amnesty, pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), hingga pemeriksaan bukti permulaan pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Enam Kalibata dan Kantor Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus. Selain ketiga orang tersebut, masih ada beberapa nama pegawai pajak culas yang tertangkap main mata dengan wajib pajak.

Sebut saja nama fiskus Dhana Widyatmika, Bahasyim Assifie, Mohammad Dian Irwan Nuqisra dan Eko Darmayanto, Tommy Hendratno, Pargono Riyadi, dan yang paling terkenal; Gayus Tambunan. Sangat disayangkan memang, penangkapan pegawai pajak terus berulang ketika pemerintah sedang menggelorakan reformasi perpajakan.

Pelanggaran yang dilakukan oleh fiskus menjadi noda dalam reformasi perpajakan. Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan berulangnya penangkapan tersebut terjadi akibat masih ada kelonggaran dalam sistem pengawasan penagihan pajak.

Saat ini sistem pengawasan penagihan pajak justru melonggar jika dibandingkan beberapa waktu lalu yang cenderung ketat. Dulu, ada aturan yang melarang fiskus bertemu wajib pajak tanpa pendamping. Ada pula larangan bagi fiskus makan di luar kantor dengan wajib pajak.
Lihat juga: Kronologi OTT Anak Buah Sri Mulyani di Ambon

Untuk di kantor pun diawasi ketat. Direktorat Jenderal Pajak selalu mewajibkan pemasangan kamera pengawas dan pengisian buku tamu untuk setiap pertemuan yang dilakukan antara fiskus dan wajib pajak.

Saat ini, kata Yustinus, aturan ketat tersebut mulai melonggar. Dari sisi pengawasan, fiskus dan wajib pajak bisa bertemu secara leluasa di luar kantor tanpa pengawasan dan pendampingan teman sejawat. Kelonggaran tersebut kembali memperlebar praktik curang dalam perpajakan.

“Dulu ketat sekali, sekarang agak menghilang karena sudah terlalu lama tidak ada keteladanan. Saya melihat ini agak meredup semangat reformasi pajak, artinya spirit yang ada di pimpinan ini belum menular ke bawah,” kata Yustinus kepada CNN Indonesia.com, Kamis (4/10).

Yustinus juga menyinggung gaya hidup para pegawai pajak yang masih luput dari teropong pengawasan. Meskipun terbilang sepele, namun membandingkan gaji yang diterima pegawai pajak dengan gaya hidup pegawai pajak, perlu dilakukan supaya celah praktik permainan pegawai dengan wajib pajak bisa ditutup.

Senada dengan Yustinus, Koordinator Divisi Riset Indonesia Corruption Wacth ICW Firdaus Ilyas menyoroti adanya celah yang bisa diterobos dalam sistem pengawasan internal. Celah tersebut banyak terjadi di daerah terpencil dan jauh dari pantauan pengawasan pemerintah pusat atau masyarakat, salah satunya di KPP Pratama Ambon.

Celah tersebut membuat fiskus dan wajib pajak bisa bernegosiasi untuk berbuat curang. Firdaus menggarisbawahi wilayah terpencil yang memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA), seperti wilayah Kalimantan, Sumatera, dan Indonesia Timur, rentan dengan permainan tersebut.

Lemahnya sistem pengawasan bukan berarti Kementerian Keuangan tidak memiliki sistem pengawasan pajak. Akan tetapi, implementasi sistem tersebut belum maksimal dan memiliki celah bagi oknum pajak.
Lihat juga: KPK Sita Tabungan Bos Kantor Pajak Ambon Berisi Uang Miliaran
“Kejadian ini menjadi peringatan dini bagi Kementerian Keuangan dan DJP untuk lebih memperbaiki sistem pengawasan pajak,” kata Firdaus.

Pengamat Perpajakan Rony Bako mengatakan pemerintah telah membangun sistem pengawasan penagihan pajak yang cukup kuat. Hal tersebut bisa dilihat dari jenjang pemeriksaan dalam satu kantor pelayanan pajak (KPP). Jenjang pertama, dilakukan oleh petugas di lapangan yang kemudian diserahkan kepada supervisor.

Kedua, seorang supervisor ini juga diawasi oleh kepala bidang yang juga di bawah pengawasan kepala kantor. Rony mengatakan yang memberikan celah adanya pelanggaran perpajakan adalah sistem self assessment.

Permasalahan terjadi karena wajib pajak tidak memahami secara komprehensif perhitungan pajak. Ketika wajib pajak keberatan dengan jumlah yang dihitung oleh fiskus terjadi, celah tawar menawar dan keculasan itu muncul.

“Karena wajib pajak mau cepat dan dia tidak punya data, akhirnya dia buka ruang pajaknya diturunkan, dengan opsi ini maka ada harga ada barang,” jelas dia.

Berbenah Demi Target

Untuk memenuhi target penerimaan perpajakan tahun 2018, Kementerian Keuangan perlu membenahi dan memperkuat sistem pengawasan penagihan yang dibangun. Tahun ini, pemerintah mematok penerimaan perpajakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp1.424 triliun.
Lihat juga: Pegawai Pajak Kena OTT, Sri Mulyani Bilang Terima Kasih KPK

Target ini naik 23,20% dibandingkan realisasi tahun 2017 yaitu Rp1.151,13 triliun. Sementara hingga akhir September 2018, DJP mencatat realisasi penerimaan pajak sebesar Rp900,82 triliun atau 63,26 persen dari target.

Dengan realisasi ini, DJP masih meramal realisasi pajak di akhir tahun mencapai Rp1.352,8 triliun atau 95 persen dari target APBN. Sehingga, shortfall pajak masih diperkirakan ada di kisaran Rp71,2 triliun.

Yustinus mengatakan, untuk memaksimalkan penerimaan pajak, maka harus ada peningkatan sistem pengawasan penagihan. DJP perlu mengindentifikasi wilayah-wilayah yang rawan akan tindakan curang.

Untuk titik-titik yang rentan kecurangan, maka harus dibentuk tim inklusif. “Dalam tim ini bisa melibatkan orang dari luar (Kementerian Keuangan) sehingga kredibel dan bisa membangun kepercayaan misalnya mengajak KPK, kementerian lain, perguruan tinggi, lembaga profesional, untuk memastikan bahwa prosesnya memang kredibel,” kata Yustinus.

Sementara Firdaus mengusulkan solusi bagi Kementerian Keuangan untuk memberikan insentif bagi pegawai yang melaporkan indikasi atau potensi kekurangan pajak, misalnya sebesar 5 persen dari nilai kekayaan atau kewajiban pajak yang berhasil diselamatkan. Sistem insentif ini bisa dilakukan beriringan dengan membuka mekanisme pengawasan yang lebih terbuka antar jenjang, dimana staf bisa melaporkan atasan atau sebaliknya, tanpa sungkan.

“Misalnya staf melihat atasan korupsi, maka bawahan bisa melaporkan langsung tanpa takut dikenakan sanksi dan tanpa takut diketahui. Lalu kalau terbukti dia bisa diberikan reward artinya dia bisa menyelamatkan keuangan negara. Ini bagian dari insentif,” kata Firdaus.

Ia juga melihat perlunya pemberatan sanksi kepada pegawai pajak yang kedapatan main mata dengan WP. Sebab, sanksi yang saat ini dikenakan kepada oknum pegawai pajak dianggap kurang memberikan efek jera.

Jangan sampai pegawai pajak nakal mempunyai pemikiran, keuntungan yang ia dapat dari keculasannya masih lebih tinggi dibandingkan sanksi yang dibebankan.

“Mau tidak mau yang didorong adalah pemberatan sanksi pidana badan dan ganti rugi. Ganti ruginya tidak hanya dihitung dari nilai suap tapi juga nilai kerugian negara terkait kongkalikong pajak,” jelas Firdaus.

Sumber: cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only