Babak Baru Utang Negara
Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) untuk pembiayaan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara memasuki babak baru. Mulai semester kedua 2018, pemerintah mendorong lebih banyak sumber dana dari investor dalam negeri. Pemerintah mematok target porsi SBN berdenominasi rupiah bisa menembus lebih dari 80 persen atas total penerbitan SBN (outstanding).
Langkah pertama diawali dengan mengaktifkan kembali Saving Bond Ritel (SBR) dan Sukuk Tabungan yang pada 2017 sempat dihentikan penerbitannya. Kedua jenis surat berharga ini hanya diperuntukkan bagi investor domestik sehingga bisa berfungsi sebagai katalisator terhadap kepemilikan asing atas SBN.
Dengan nilai investasi SBR dan Sukuk Tabungan sebesar Rp 1 juta hingga Rp 3 miliar, masyarakat golongan pendapatan menengah berkesempatan ikut dalam pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu, SBR dan Sukuk Tabungan menjadi wahana strategis dalam menuju inklusi keuangan pada masa mendatang.
Langkah kedua adalah rencana pemerintah untuk membebaskan pajak penghasilan (PPh) atas bunga instrumen investasi dalam negeri. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2013, tarif PPh bunga dan/atau diskonto obligasi ditetapkan sebesar 15 persen bagi wajib pajak dalam negeri dan badan usaha tetap.
Tarif 15 persen bagi pendapatan pasif dipandang masih tinggi. Sebagai perbandingan, tarif terendah PPh orang pribadi hanya 5 persen dari pendapatan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Hal ini diduga menjadi penyebab obligasi pemerintah kurang atraktif. Padahal, kehadiran obligasi negara dimaksudkan untuk memperkuat pasar modal dengan mentransformasi masyarakat dari berorientasi-tabungan menuju berorientasi-investasi. Syukur-syukur investor domestik mau membeli obligasi bertenor lebih panjang. Pendalaman pasar keuangan adalah tujuan lain yang akan dibidik.
Hanya, beberapa pertimbangan konseptual di atas agaknya perlu dikaji ulang dalam implementasinya. Faktanya, penaikan porsi SBN untuk investor domestik tidak serta-merta diikuti dengan kenaikan permintaan. Porsi individu di SBN naik sangat tipis, dari 2,68 persen pada akhir Januari menjadi 2,82 persen pada awal September 2018.
Preferensi pemilik dana retail masih mengakumulasi tunai di tengah gejala stagnasi ekonomi. Hasil survei perbankan Bank Indonesia menyebutkan pada kuartal III pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan, khususnya deposito dan giro, akan melambat, sedangkan pertumbuhan tabungan diperkirakan menguat.
Penjualan Obligasi Ritel Online (Oril) dengan memanfaatkan teknologi informasi juga belum tentu laku. Segmen yang disasar adalah generasi milenial dengan kemampuan ekonomi dan literasi finansial yang belum memadai. Alhasil, kenaikan SBN retail lebih condong sebagai langkah jangka panjang dalam memperkuat basis investor domestik.
Basis investor domestik niscaya akan terbangun jika suku bunga cukup bersaing. Persoalannya, apakah penghapusan PPh bunga mampu menjadi daya tarik bagi investor? Secara teoretis, pembebasan PPh akan menekan suku bunga SBN sehingga imbal hasil yang diterima investor pun menurun.
Kalaupun imbal hasil neto bisa dipertahankan, persoalan tidak berhenti di sini. Tidak adanya tambahan insentif memicu pemilik modal memindahkan dananya ke instrumen finansial lain yang memberikan imbal hasil lebih tinggi. Artinya, arus dana hanya mondar-mandir antar-instrumen alih-alih terjadi kenaikan volume investasi.
Kecenderungan yang sama juga bakal terjadi di SBN non-retail. Potensi perpindahan kepemilikan dari investor individu ke investor institusi tetap terbuka. Bahkan, tidak menutup kemungkinan investor asing membeli instrumen tersebut di pasar sekunder. Efek bumerang pun berlaku. Kinerja SBN non-retail justru terpapar sentimen global.
Bagi pemerintah selaku penerbit SBN, pembebasan PPh bunga SBN sesungguhnya bukan persoalan yang terlalu urgen. Jika PPh bunga SBN tetap dipertahankan, pemerintah akan mendapatkan penerimaan dari PPh bunga SBN tapi beban bunga SBN juga meningkat. Artinya, perolehan pajak dibayarkan akan kembali kepada investor.
Sebaliknya, apabila PPh bunga SBN dihapus, likuiditas pasar keuangan domestik bisa bertambah signifikan lantaran harga SBN menjadi jauh lebih murah. Sayangnya, pemerintah sama sekali tidak mendapatkan penerimaan PPh bunga SBN. Intinya, manfaat penghapusan PPh bunga hanya sebatas pada efisiensi administrasi.
Dengan skema masalah di atas, babak baru utang negara belum sepenuhnya menanggulangi persoalan yang paling hakiki, yakni utang tetaplah harus dibayar. Mitos yang tengah berkembang adalah utang domestik jauh lebih aman daripada utang dari luar negeri. Betulkah demikian?
Sumber : Tempo.co
by
Tags:
APBN, artikel pajak, berita pajak, DPR, kebijakan negara, kebijakan pajak, kebijakan pemerintah, nilai jual objek pajak, NJOP, pajak, pajak bumi dan bangunan, pajak indonesia, Pajak Pertambahan Nilai, PBB, pelaksanaan pengampunan pajak, pelaksanaan tax amnesty, pemeriksaan, pemeriksaan pajak, pemutihan pajak, penerimaan negara, penerimaan pajak, Pengampunan pajak, PPh, PPh migas, PPh nonmigas, PPn, repatriasi dana, repatriasi dana dari luar negeri
Leave a Reply