Defisit neraca transaksi berjalan (CAD) tahun ini diperkirakan akan tetap melebar. Selama itu pula rupiah akan terus tertekan sentimen negatif.
Defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) Indonesia diperkirakan akan tetap melebar. Serangkaian kebijakan pemerintah untuk menekan CAD belum berjalan efektif. Masalahnya, selama defisit transaksi berjalan masih menganga dan belum menunjukkan perbaikan, selama itu pula rupiah akan terus tertekan sentimen negatif.
Pekan lalu, saat mengumumkan Asian Development Outlook (ADO), Bank Pembangunan Asia (ADB) memprediksi defisit neraca transaksi berjalan Indonesia di akhir tahun ini akan melebar hingga 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini meningkat dibandingkan dengan CAD di akhir 2017 yang 2,21% dari PDB. Persentase tersebut juga lebih tinggi dari prediksi Bank Indonesia (BI) yang 2,5% dari PDB.
Neraca transaksi berjalan masih akan defisit karena ADB menghitung investasi swasta yang banyak dibiayai utang luar negeri terus meningkat. Ini karena perhitungan neraca transaksi berjalan mencakup transaksi barang, jasa, serta pendapatan faktor produksi seperti dividen dari aset, bunga dari pinjaman, dan transfer uang dari tenaga kerja. Semakin besar ‘impor aset’, semakin besar pula defisit transaksi berjalan.
Selain itu, impor barang modal masih akan tinggi, terutama untuk kepentingan pembangunan proyek infrastruktur. Pada saat bersamaan, ekspor belum akan naik signifikan dan malah ada potensi pertumbuhannya akan melandai akibat kenaikan harga minyak mentah di pasar global. Problemnya, harga komoditas belum akan mengalami nasib baik yang sama.
Meski demikian, ADB menilai rasio defisit transaksi berjalan tersebut terhitung normal lantaran digunakan untuk aktivitas investasi produktif yang pada gilirannya punya peran mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. “Kami tidak melihat alasan untuk panik (akibat CAD) karena semua masih normal. Apalagi pemerintah dan BI sudah melakukan langkah mengurangi defisit,” ujar Country Director ADB Indonesia Winfried Wicklein.
BI sendiri sejatinya sudah memberi sinyal CAD akan tetap menganga ketika memprediksi defisit transaksi berjalan akan berada di bawah 3% dari PDB pada akhir tahun. Ini berubah dari prediksi Agustus lalu yang memperkirakan neraca transaksi berjalan masih akan negatif sebesar US$ 25 miliar atau sekitar 2,5% dari PDB.
Meski begitu, senada dengan Winfried, Gubernur BI Perry Warjiyo juga percaya posisi defisit transaksi berjalan di akhir tahun akan tetap terjaga karena pemerintah telah merilis beberapa kebijakan untuk mengurangi defisit. Mulai dari kebijakan Pertamina untuk memborong lifting minyak dalam negeri, perluasan mandatori penggunaan biodiesel 20% (B20), pembatasan impor dengan kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh), pembatasan proyek infrastruktur, hingga menggenjot sektor pariwisata.
Tetapi, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual punya pendapat berbeda soal efektivitas kebijakan pengurangan defisit. Ia memprediksi, CAD pada triwulan III-2018 akan mencapai sekitar 2,5%-3% dari PDB. Meski lebih kecil dari defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2018 lalu yang sudah menembus 3% dari PDB, angka defisit tersebut masih terhitung besar lantaran belum ada dampak signifikan dari berbagai kebijakan pemerintah untuk menekan CAD.
CAD saat ini masih dipengaruhi oleh defisit migas lantaran konsumsi minyak mencapai 1,3-1,4 juta barel per hari (bph). Sedangkan hasil produksi siap jual (lifting) dalam negeri hanya 775.000 barel, dengan jatah Pertamina sekitar 500.000 bph. Sisanya, 275.000 bph menjadi milik swasta yang menjadi Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) minyak.
Selama ini minyak yang menjadi jatah KKKS dijual ke luar negeri. Sekarang, pemerintah minta Pertamina untuk memborong seluruh lifting minyak jatah KKKS. Sebagai catatan, nilai impor minyak mentah tahun lalu mencapai US$ 6,16 miliar atau sekitar Rp 86,24 triliun. Jadi, kalau kebijakan memborong minyak KKKS ini terlaksana maka berpotensi menekan impor minyak dan menghemat devisa.
Yang rumit, menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, penjualan minyak KKKS ke Pertamina tidak mudah karena harus melalui amendemen kontrak PSC (production sharing contract). Sebab, dalam kontrak yang sekarang KKKS telah diberikan kebebasan untuk menjual minyaknya. Melalui amendemen kontrak, Pertamina baru mendapat kesempatan mengajukan penawaran kedua atau right to match dalam tender pembelian minyak.
Sementara kebijakan B20 dinilai belum efektif karena belum dilaksanakan oleh keseluruhan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Oleh karena itu, impor minyak diperkirakan masih tinggi pada triwulan III tahun ini karena adanya kenaikan harga minyak mentah. Bahkan, harga minyak Brent sudah menyentuh US$ 85 per barel.
Adapun kenaikan tarif PPh impor 1.147 barang konsumsi tidak berpengaruh sigifikan terhadap penurunan konsumsi produk ekspor. Sebab, pengenaan tarif tersebut hanya merepresentasikan 5% dari total nilai impor. Terlebih lagi, konsumsi barang mewah diperkirakan tidak menurun meski ada penambahan tarif.
Sedangkan penundaan proyek strategis nasional (PSN) dinilai sulit dijalankan dengan efektif. Sebab, berbagai PSN yang sudah setengah berjalan sulit ditunda lantaran bunga bank sudah mulai berjalan. Selain itu, berbagai kontraktor juga sudah terikat dalam kontrak sehingga berpotensi menuai berbagai kontroversi.
Ketidakmampuan menciptakan sentimen positif dari dalam negeri lewat perbaikan CAD turut mendorong kejatuhan rupiah. Pada perdagangan di pasar spot Senin (8/10), kurs rupiah sempat menembus Rp 15.255 per dolar Amerika Serikat (AS), atau melemah 2,36% dibandingkan penurupan perdagangan pada akhir September lalu. Pelemahan tersebut, selain disumbang faktor eksternal, juga dipengaruhi variabel domestik.
Menurut Project Consultant Asian Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi, kenaikan harga minyak dunia menyebabkan persepsi pelaku pasar terhadap risiko defisit transaksi berjalan Indonesia membesar sehingga mempengaruhi daya topang fundamental perekonomian Indonesia terhadap rupiah. Sebelumnya, ekonom DBS menganalisis kurs rupiah berisiko menembus Rp 16.500 per dolar AS bila rata-rata harga minyak dunia tembus US$ 100 per barel tahun depan.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengakui, gejolak pelemahan nilai tukar akan lebih besar dialami oleh negara berkembang yang memiliki defisit transaksi berjalan. Untuk Indonesia, ini memang pekerjaan rumah lama yang harus segera diselesaikan.
Membengkaknya defisit transaksi berjalan saat ini banyak didorong program pembangunan infrastruktur sehingga sebenarnya impor yang tumbuh adalah untuk sektor produktif. Tetapi membesarnya CAD apapun alasannya, menyebabkan tumpukan liabilitas neto pada luar negeri dan memperbesar persepsi risiko seiring dengan waktu. Tak ada pilihan lain, pemerintah dan otoritas terkait perlu menunjukkan kepada investor kesuksesan langkah pengendalian CAD.
Sumber: Katadata
Leave a Reply