DENPASAR – Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan belum lama ini memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari 1 persen menjadi 0,5 persen.
Tarif tersebut berlaku untuk UMKM yang memiliki omzet di atas Rp4,8 miliar dalam setahun. Sementara UMKM yang memiliki omzet di bawah Rp4,8 miliar tidak dikenai pajak. Tarif sebesar 0,5 persen dikenakan atas omzet, bukan keuntungan.
Mengapa pemerintah tidak membebaskan pajak seluruh UMKM?
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengatakan, pajak merupakan kewajiban warga negara. Kebijakan PPh berbasis pada penghasilan.
“Kan ada penghasilan. Kalau UMKM ada omzet itu kami anggap penghasilan. 0,5 persen itu angka yang cukup reasonable,” kata Robert Pakpahan melalui keterangan tertulis usai menghadiri seminar dengan tema “Peran Usaha Kecil dan Menengah dalam Perpajakan Nasional” yang diselenggarakan Universitas Udayana dan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Denpasar, Rabu (10/10/2018).
Robert menjelaskan, pemangkasan tarif PPh cukup efektif meningkatkan kepatuhan pajak. Berdasarkan data Ditjen Pajak, sejak digulirkan, ada 183 ribu wajib pajak baru UMKM yang mendaftar. “Mudah-mudahan tambah terus,” ucapnya.
Ketua Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Udayana Bambang Suprasto memandang UMKM tetap memiliki peran yang penting dalam perpajakan. Dia berharap, penurunan tarif pajak UMKM menjadi 0,5 persen bisa mendorong tingkat kepatuhan WP.
“Hanya saja, pembukuan sebagai konsekuensi bagi pemanfaatan tarif ukm masih dianggap memberatkan bagi pengusaha UMKM,” kata Bambang.
Dia pun mengapresiasi langkah Ditjen Pajak yang berani memangkas tarif PPh UMKM. Namun, dia berharap perlu ada keberanian lebih lanjut soal pembukuan sehingga bisa lebih banyak UMKM yang masuk dalam sistem perpajakan nasional.
Sumber: inews.id
Leave a Reply