Mengelola Nasionalisme, Maksimalkan Kerja Sama Internasional

Kepala Bidang Riset di Center for Indonesian Policy Studies

Prestasi olahraga membuat semangat nasionalisme menggelora di Tanah Air. Sayangnya, di bidang ekonomi semangat ini masih dimaknai secara sempit sebagai “kemandirian”. Seharusnya nasionalisme saling melengkapi dengan semangat kerja sama internasional demi mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera.

Akhir-akhir ini semangat nasionalisme menguat di Tanah Air satu di antaranya karena prestasi para atlet Indonesia di berbagai ajang internasional. Pada Agustus sampai September lalu Indonesia sukses menjadi tuan rumah Asian Games. Juga untuk pertama kalinya dalam sejarah meraih posisi keempat dengan raihan 31 medali emas.

Tidak lama berselang, pasangan ganda putra bulutangkis Kevin Sanjaya/Marcus Gideon menjadi juara turnamen Jepang Terbuka. Keberhasilan ini dilanjutkan oleh Anthony Ginting yang menjuarai nomor tunggal di China Terbuka. Semua ini menghadirkan semangat nasionalisme yang menggelora di masyarakat.

Semangat nasionalisme pun menjalar ke sektor ekonomi yang saat ini sedang dihinggapi kekhawatiran karena nilai tukar rupiah yang merosot terhadap dolar AS yang pada pertengahan Oktober ini sudah menembus Rp15.100.

Pemerintah pun menanggapinya dengan berupaya mengurangi laju impor dengan cara menaikkan tarif impor pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk 1.147 barang, termasuk di antaranya barang-barang konsumsi seperti sabun, kosmetik, dan bahan-bahan bangunan. Tidak lama kemudian, pemerintah juga mengumumkan bahwa perjanjian awal mengenai divestasi saham Freeport sudah resmi ditandatangani sehingga kini Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menguasai 51% sahamnya.

Semangat nasionalisme yang menggelora tentu tidak luput dari perhatian para politisi, apalagi Pemilu Presiden 2019 sudah di depan mata. Dari visi dan misi yang telah disampaikan, baik pasangan Joko Widodo–Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto–Sandiaga Uno sama-sama

mengindikasikan mereka akan berupaya mewujudkan Indonesia yang “mandiri” dan “berdiri di atas kaki sendiri” atau dengan kata lain swasembada atau self-sufficiency.

Secara spesifik, Ma’ruf Amin bahkan sudah mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan program swasembada pangan. Sejalan dengan itu, di tingkat menteri, Menteri Pertanian

Amran Sulaiman belum lama mengklaim bahwa Indonesia sudah “berhasil” untuk tidak mengimpor jagung dan justru sekarang menjadi pengekspornya. Demikian pula halnya untuk komoditas bawang merah, daging ayam, dan telur.

Meski demikian, apakah nasionalisme harus diterjemahkan menjadi swasembada dalam segala hal? Menurut artikel jurnal yang ditulis oleh Stephen Nancoo pada 1977 yang berjudul Nationalism and Change: A Framework for Analysis, prinsip nasionalisme dan swasembada tidak berarti menutup diri dari kerja sama dengan negara-negara lain.

Sebaliknya, dua hal tersebut semestinya diwujudkan dalam pola di mana negara tersebut dan masyarakatnya memiliki kebebasan dalam hal ekonomi untuk mencapai kesejahteraannya,

termasuk bebas dalam bekerja sama dengan siapa pun yang dianggap perlu.

Mari kita ambil contoh kasus swasembada pangan. Gagasan ini bukanlah sesuatu yang baru karena sudah menjadi bagian dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Jika ditarik mundur ke belakang, ambisi (jika tidak mau disebut obsesi) swasembada pangan sudah dicetuskan sejak 1950-an melalui Kasimo Plan.

Bagaimana perkembangannya? Yang jelas, mayoritas petani, sebagai pihak yang dituntut untuk bekerja keras demi mewujudkan ambisi ini, nasibnya hingga saat ini jauh dari sejahtera. Bank Dunia mencatat bahwa dari 54,8 juta tenaga kerja di sektor ini, sekitar 62,6% (34,3 juta) di

antaranya tergolong miskin atau rentan. Mereka pun tergolong pihak yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Sebagai contoh, World Food Programme(WFP) mencatat bahwa kemarau pada 2015 – 2016 membuat hampir 50% petani di Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Papua kehilangan lebih dari 30% pendapatannya.

Lantas apa yang sudah berhasil diraih program swasembada tersebut? Yang jelas, harga sebagian besar bahan pangan Indonesia justru semakin mahal dibandingkan harga di pasar internasional. Beras misalnya.

Ketika harga per kilogram beras Thailand yang menjadi acuan Bank Dunia hanya meningkat sekitar 4,1% dari Rp 5.546 pada Mei 2009 menjadi Rp5.773 di Februari 2018, harga beras di Indonesia justru melonjak drastis hingga lebih dari dua kali lipat dari Rp6.641 menjadi Rp14.697 di periode yang sama.

Data Indeks Bulanan Rumah Tangga (Indeks Bu RT) yang dirilis oleh Center for Indonesian Policy Studies juga menunjukkan bahwa harga beras, telur ayam, bawang merah, apel, hingga garam kita lebih mahal dibandingkan Singapura dan Malaysia.

Yang menarik, meskipun populasi penduduk Singapura dan Malaysia jauh lebih kecil (sekitar 37 juta jika digabungkan) dibandingkan Indonesia, nilai perdagangan impor produk-produk pangan kedua negara ini berada di atas negara kita yang penduduknya lebih dari 260 juta jiwa.

Statistik Bank Dunia pada 2015 menunjukkan bahwa nilai impor produk pangan Singapura berada di angka USD6,38 juta yang diikuti Malaysia dengan USD6,30 juta. Sebaliknya, nilai impor Indonesia justru hanya mencapai USD6,28 juta. Hal ini tentunya berkontribusi terhadap tingkat ketersediaan bahan pangan di negara kita sehingga harganya pun menjadi tinggi.

Nasionalisme seharusnya tidak melulu diwujudkan secara sempit sebagai “kemandirian”. Sebaliknya, nasionalisme perlu saling melengkapi dengan semangat kerja sama internasional. Sebagai contoh, pada Oktober ini Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Tema utama pertemuan ini adalah memanfaatkan disrupsi guna membentuk ekonomi yang inklusif di masa depan (harnessing disruption to shape inclusive economies of the future).

Disrupsi ini erat kaitannya dengan pemanfaatan teknologi informasi, di mana keterbukaan terhadap sektor perdagangan menjadi salah satu kunci untuk menarik para investor dan membuka berbagai peluang usaha. Kehadiran para menteri keuangan dan gubernur bank

sentral dari 189 negara dalam pertemuan ini tentu perlu dimanfaatkan guna menghadirkan sinyal positif untuk menjalin kerja sama perdagangan dan investasi.

Semoga pada pertemuan IMF-Bank Dunia lalu pemerintah menginisiasi pertemuan-pertemuan sampingan (side meetings) dengan perwakilan dari sejumlah negara tertentu guna menegaskan komitmen Indonesia terhadap rencana perjanjian kerja sama perdagangan di Indonesia.

Minimal, Indonesia bertemu dengan perwakilan seluruh negara anggota ASEAN ditambah dengan China, Jepang, Korea Selatan, India, Selandia Baru, dan Australia guna memantapkan rencana kerja sama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Khususnya dengan Australia, Indonesia pun perlu memastikan bahwa rencana Comprehensive Economic

Partnership Agreement (CEPA) dapat diselesaikan dalam tahun ini sebagaimana telah disepakati oleh dua kepala negara pada awal September lalu.

Pada akhirnya semangat nasionalisme perlu dikelola guna menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bekerja sama dengan negara-negara lain adalah kuncinya. Kita harapkan ke depan bukan saja para atlet yang dapat membuat kita bangga, melainkan juga kondisi ekonomi dan kemakmuran bangsa kita.

Sumber sindo

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only