Adakah yang Salah dengan Tarif PPh Orang Pribadi di Indonesia?

Ada pemeo yang sering kita dengar, bahwa dua hal yang tidak bisa kita hindari di dunia ini yaitu kematian dan pajak. Manusia pasti akan mati dan manusia ‘pasti’ menghadapi kewajiban perpajakan.

Di Indonesia, pajak merupakan penerimaan negara terbesar sejak berakhirnya kejayaan minyak bumi Indonesia beberapa dekade lalu. Indonesia dengan lebih dari 260 juta penduduknya tentu menyimpan potensi penerimaan pajak yang sangat besar.

Namun, teori di atas kertas seringkali berbeda dengan kenyataannya di lapangan. Kita tidak perlu menampik bahwa tax ratio kita masih dalam kisaran 11%. Mengutip liputan6.com, Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa kita masih perlu menaikkan lagi tax ratio ke kisaran 15% yang merupakan standar tax ratio yang dianggap bagus oleh Bank Dunia.

Salah satu komponen penyebab rendahnya tax ratio kita adalah masih rendahnya proporsi penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi terhadap total penerimaan pajak penghasilan, apalagi jika dibandingkan terhadap total penerimaan pajak.

Berbeda dengan negara-negara maju, pajak penghasilan orang pribadi mampu menjadi penopang penerimaan pajak, bahkan hampir sebanding dengan penerimaan PPh Badan, sehingga kontinyuitas penerimaan pajak dapat terjaga dengan baik.

Rendahnya kontribusi penerimaan PPh orang pribadi, salah satu faktor penyebabnya dikarenakan masih relatif kecilnya jumlah wajib pajak perseorangan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk usia produktif di Indonesia.

Disamping itu, juga diakibatkan banyaknya penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak, terutama wajib pajak orang kaya bahkan super kaya. Definisi kaya di sini kita batasi dengan batasan bahwa sebagian besar penghasilannya terkena tarif pajak penghasilan tertinggi yaitu 30%.

Tentunya hanya sebagian kecil dari penghasilan mereka yang terkena tarif 5%, 15%, sampai 25%. Nah, tarif progresif yang cukup besar ini, disinyalir menjadi penyebab upaya penghindaran pajak yang masif.

Coba kita berandai-andai menjadi orang kaya dengan penghasilan netto dalam satu tahun sebesar Rp10 milyar. Jika status kita belum kawin, maka penghasilan tidak kena pajak adalah Rp54 juta. Jadi penghasilan yang kena pajak sebesar Rp9.946.000000. Maka pajak yang kita bayarkan sebesar (5% x Rp50 juta) + (15% x Rp200 juta) + (25% x Rp250 juta) + (30% x Rp9.446.000.000) = Rp2.928.800.000. Wow gede banget!

Dengan menyerahkan uang kalian sebanyak itu ke negara, jujur apakah kalian rela? Coba kita berandai-andai lagi, jika kamu memperoleh penghasilan sebanyak itu dari kegiatan usaha dan kamu mempekerjakan banyak orang serta turut menjadi motor penggerak roda perekonomian di daerahmu bahkan negara ini, yang mana dengan peran sebanyak itu kamu telah mampu menciptakan wajib pajak-wajib pajak baru (dari para karyawanmu).

Pembayaran pajak dari usahamu, menciptakan efek domino pembayaran pajak dari pemasokmu, bahkan jenis-jenis pajak lain yang muncul akibat berbagai macam aktivitas ekonomi yang muncul dari keberadaan usahamu, tetapi di satu sisi kamu semacam “dihukum” dengan tarif pajak yang lebih tinggi, bagaimana perasaanmu?

Memang sangat mudah menjustifikasi para pengemplang pajak dengan berbagai macam cap negatif, tetapi kalau kamu sendiri di posisi para pengemplang pajak itu, apakah kamu tidak akan tergiur melakukan penghindaran pajak?

Tidak nasionalis lah, penghisap kekayaan negara lah, pengkhianat negara lah, itulah cap-cap yang serta merta kita sematkan kepada para pengemplang pajak. Namun, kita harus melihat berbagai macam sisi sebelum kita menghakimi seseorang termasuk para pengemplang pajak. Apa sesungguhnya yang memicu perilaku mereka?
Sudah adilkah kebijakan perpajakan yang saat ini berlaku, khususnya yang kita soroti saat ini adalah tarif progresif pajak penghasilan orang pribadi terhadap seluruh lapisan masyarakat baik si kaya ataupun si miskin?

Jawabannya adalah sudah jika kita memandang keadilan dari teori keadilan legalitas yang diusung oleh Hans Kelsen, dimana pemerintah dianggap sudah memberikan keadilan jika dijalankan sesuai dengan amanah undang-undang yang berlaku, dalam hal ini sesuai Undang-Undang PPh.

Namun, bisa berbeda penafsiran jika kita menilik dari berbagai teori keadilan yang ada, salah satunya adalah teori keadilan distributif. Jika teori ini dikaitkan dengan pajak maka, suatu keadilan dapat tercipta jika dalam pengenaan pajak, pemerintah mempertimbangkan hak, kewajiban, ataupun jasa-jasa yang dimiliki oleh seseorang.

Seringkali dalam berbagai buku atau artikel disebutkan bahwa pajak progresif merupakan salah satu bentuk nyata dalam penerapan asas daya pikul. Apakah benar demikian?

Asas daya pikul tidak semata-mata memandang seseorang yang mempunyai penghasilan sama juga dikenakan pajak yang sama, tetapi lebih ditekankan kepada kondisi riil wajib pajak tersebut.

Salah satu kondisi riil yang dapat secara objektif dikuantifikasi adalah berapa jumlah orang (keluarga) yang harus ditanggung oleh seorang wajib pajak. Hal itu mengakibatkan pengenaan besaran pajak yang berbeda antara orang yang belum kawin dan yang sudah kawin ataupun sudah punya anak meskipun penghasilan mereka sama persis.

Berdasarkan asas daya pikul tadi, semakin banyak tanggungannya tentunya semakin sedikit pajak yang harus dibayarkan. Kebijakan yang tepat untuk mengimplementasikan asas daya pikul tadi adalah penetapan besaran Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Asas daya pikul juga menyebutkan besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Hal ini berarti wajib pajak dengan jumlah penghasilan yang berbeda, tidak boleh membayar pajak dalam jumlah (nominal) yang sama.

Namun, bisa juga diartikan bahwa wajib pajak dengan jumlah penghasilan yang berbeda bisa membayar pajak dengan tarif yang sama (bukan jumlah yang sama).

Coba kita simulasikan, misalnya pajak penghasilan dikenakan tarif flat (proporsional) 5% untuk semua tingkat penghasilan, maka wajib pajak dengan penghasilan kena pajaknya Rp1 Milyar akan membayar pajak sebesar Rp50 juta, sedangkan wajib pajak yang penghasilan kena pajaknya Rp10 juta akan membayar pajak sebesar Rp500 ribu. Kondisi tersebut tentunya sudah memenuhi asas daya pikul.

Berbeda kondisinya jika diterapkan tarif pajak progresif maka selain membayar pajak dalam nominal yang lebih besar, si kaya akan mengalami beban pajak dengan proporsi yang lebih besar terhadap penghasilannya dibandingkan orang yang penghasilannya pas-pasan.

Hal ini tentunya kontraproduktif dengan asas equality yang dikemukakan oleh Adam Smith, bahwa wajib pajak harus diperlakukan sama atau tidak diskriminatif. Tarif progresif atas pajak penghasilan tidak relevan dengan asas ini, sehingga tidak mengherankan jika banyak diantara wajib pajak yang merasa ‘dihukum’ dengan tarif progresif, melakukan segala upaya untuk penghindaran pajak.

Pada dasarnya pajak dengan tarif progresif adalah sebuah wujud dari corrective tax atau disebut juga pajak pigovian. Pajak yang dikenakan untuk mengurangi dampak sosial dan lingkungan akibat perilaku/aktivitas seseorang ataupun lembaga.
Contoh dari corrective tax yaitu pajak kendaraan bermotor. Pajak kendaraan bermotor saat ini yang berlaku di Indonesia dikenakan tarif progresif sesuai perda masing-masing provinsi.

Tarif Progresif berlaku untuk kepemilikan kendaraan bermotor lebih dari satu. Semakin banyak memiliki kendaraan bermotor maka akan semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan. Dalam kebijakan ini jelas yang disasar agar konsumsi atau pembelian kendaraan bermotor bisa ditekan agar kemacetan, polusi, dan biaya sosial yang muncul dari keberadaannya bisa lebih terkendali.

Apa jadinya jika pajak progresif diterapkan dalam pajak penghasilan orang pribadi. Kalau punya mobil lebih banyak jelas secara tidak langsung akan merugikan masyarakat lainnya dengan polusi atau potensi kemacetan yang ditimbulkannya.

Namun, apakah jika seseorang punya penghasilan lebih banyak berarti dia merugikan banyak orang? Tentu tidak demikian. Justru mungkin dia telah membuka banyak lapangan kerja sehingga selain kontribusi pajak dari penghasilan pribadi dan usahanya, dia juga berkontribusi dengan meningkatkan penerimaan pajak dari para pegawainya ataupun efek domino positif yang muncul dari aktivitas perekonomian yang dilakukannya.

Masak orang yang bekerja lebih keras sehingga punya penghasilan yang lebih besar ‘dihukum’ dengan tarif pajak yang lebih besar. Kalaupun besaran tarif yang sama (proporsional) diberlakukan untuk semua lapisan pendapatan kena pajak, mereka juga akan membayarkan nominal yang lebih besar. Jadi apa yang salah selama ini?

Memang perlu banyak kajian ilmiah yang harus dibuat untuk mengetahui relevansi penerapan tarif progresif PPh orang pribadi di era kompetisi global yang semakin sengit ini, dimana banyak negara berlomba-lomba untuk menurunkan tarif pajaknya baik itu pajak penghasilan orang pribadi ataupun badan, demi menarik para investor luar negeri bahkan yang lebih ekstrim mengiming-imingi tarif pajak rendah kepada orang-orang super kaya untuk menempatkan atau menyembunyikan hartanya di sana.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang menerapkan tarif progresif pajak penghasilan orang pribadi, bahkan sebagian besar di dunia ini menggunakan skema tarif progresif, tentunya dengan besaran dan tingkatan tarif yang berbeda-beda. Negara-negara maju di Asia, Eropa maupun Amerika bahkan menerapkan besaran tarif progresif yang jauh lebih tinggi daripada yang sekarang berlaku di Indonesia.

Namun, perlu diingat juga bahwa upaya penghindaran pajak di negara-negara tersebut juga cukup banyak, bahkan salah satu aktor ternama Perancis, Gerard Depardieu memilih menjadi warga negara Rusia karena kecewa dengan tarif pajak penghasilan sebesar 75% untuk para jutawan di Perancis.

Si Aktor memilih jadi warga negara Rusia karena pemerintah setempat hanya mematok tarif flat (proporsional) pajak penghasilan sebesar 13% untuk semua tingkat penghasilan, jauh lebih rendah daripada tarif PPh tertinggi di Perancis. Kita juga mendengar mega bintang sepakbola Lionel Messi dan Christiano Ronaldo juga terkena kasus penghindaran pajak oleh otoritas pajak Spanyol.

Masyarakat kita masih dalam tahapan belajar terhadap kewajiban perpajakan. Jika dalam tahapan belajar saja sudah banyak persepsi negatif terhadap pajak, terlebih jika mereka melihat berita di media massa terkait perilaku oknum pegawai pajak, akan semakin membuat mereka antipati terhadap kewajiban perpajakan.

Apalagi jika ditambah kerumitan perhitungan tarif progresif yang seringkali dikeluhkan masyarakat, akan semakin membuat masyarakat malas dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.

Semoga dalam UU PPh yang baru nanti menjadikan masyarakat kita lebih sadar dan ikhlas dalam menjalankan kewajiban perpajakannya, sehingga pembangunan di negeri ini dari Sabang sampai Merauke pun bisa terus berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan tentunya akan mengakselerasi terwujudnya cita-cita bangsa ini menjadi bangsa yang adil, makmur, dan sentosa.

Kebijakan yang adil, simplifikasi sistem perpajakan, dan integritas pegawai pajak, itulah kunci keberhasilan pajak di Indonesia!

Sumber: kompasiana.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only