Membiakkan Duit di Proyek Jalan Tol

Mengenal KIK-Dinfra baru dari Mandiri Manajemen Investasi dan JSMR

Jakarta. Instrumen investasi bertajuk dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak investasi kolektif, atau istilah kerennya KIK-Dinfra, makin marak. Terbaru, PT Mandiri Manajemen Investasi (MMI), bersama PT Jasa Marga Tbk (JSMR), meluncurkab Difra bertajuk KIK-Dinfra MJPT001, dengan target investasi sebesar Rp 1,5 triliun.

Direktur Utama MMI Alvin Pattisahusiwa mengatakan, KIK-Dinfra MJPT001 menggunakan dua underlying asset. Pertama, surat utang berjangka menengah atawa medium term notes (MTN) JSMR sebesar Rp 800 miliar.

Kedua, right issue atas ekuitas PT Jasamarga Pandaan Tol sebesar Rp 700 miliar. PT Jasamarga Pandaan Tol merupakan anak usaha JSMR yang mengoperasikan jalan tol Gempol-Pandaan.

KIK-Dinfra ini memiliki tenor lima tahun. sayangnya, Alvin enggan membeberkan berapa imbal hasil dari produk investasi ini.

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana berpendapat, idealnya Dinfra ini memberkan imbal lebih tinggi dari deposito. Hitungan dia, tawaran imbalan bisa 2%-3% di atas bunga deposito.

Artinya, idealnya KIK-Dinfra MMI dan JSMR ini memberi imbalan 8%-9%. “Kalau bisa kasih di 11%-12% jadi sangat menarik,” kata Wawan, kamis (18/10). Imbalan besar memang harus diberikan. mengingat produk ini tidak hanya ditawarkan kepada investor lokal saja.

MMI menyebut, produk ini juga dijajakan ke pasar internasional, karena telah didistribusikan melalui anak usaha MMI yang berdomisili di Singapura. Sejak ditawarkan, respons pelaku pasar, baik dari dalam negeri maupun asing, cukup baik.

Masalah likuiditas

KIK-Dinfra bisa menjadi jawaban dari kebutuhan investor yang ingin melakukan diversifikasi investasi di luar efek-efek yang diperdagangkan di bursa, seperti saham dan obligasi. “Instrumen ini menarik karena perusahaan yang menjadi underlying berasal dari BUMN yang memiliki misi untuk membantu percepatan infrastruktur di indonesia, jadi animo investor akan bertambah,” jelas Alvin.

Namun, Wawan mengingatkan, sebagai jenis produk investasi anyar, KIK-Dinfra cenderung memiliki risiko untuk investor ritel. Yakni, masalah likuiditas. “Begitu beli, untuk mnejualnya tidak mudah, karena harus menunggu sekian tahun, atau kalau tercatat di BEI maka cari pembeli lain,” Jelas dia.

Belum lagi, kebanyakan investor di dalam negeri masih belum mengenal produk ini, lantaran salama ini sosialisasi masih minim. Padahal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah merilis aturan mengenai dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak investasi kolektif ini sejak pertengahan Juli 2017 lalu.

Untuk menggenjot penerbitan KIK-DINFRA, pemerintah juga tengah meninjau pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) atas dividen produk ini. Selama ini, dividen yang diterima investor yang tergabung dalam KIK dari special purpose company (SPC) dikenakan PPh atas dividen sebesar 15%.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only