Intensif Pajak Demi Dongkrak Ekonomi, Sri Mulyani Lepas Rp154 Triliun

JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pemerintah terus berusaha menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan investasi di Indonesia, dengan memberikan insentif perpajakan untuk dunia usaha. Insentif tersebut berupa pengurangan pajak yang berbentuk tax holiday ataupun tax allowance.

Namun, kata dia, pemberian insentif tersebut membuat pemerintah harus rela kehilangan potensi penerimaan perpajakan. Pada tahun 2017 saja, pemerintah rela kehilangan penerimaan pajak sekitar Rp154,66 triliun. Total pajak Rp154,66 triliun yang tidak dikantongi negara tersebut dikategorikan sebagai belanja perpajakan (tax expenditure).

Total belanja perpajakan pemerintah pada 2017 mencapai Rp154,66 triliun yang berasal dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar RP125,32 triliun, pajak penghasilan (PPh) Rp20,17 triliun dan bea masuk dan cukai Rp9,15 triliun.

“Jadi seluruh fasilitas perpajakan ini sebetulnya fasilitas yang kita sebut tax expenditure. Jadi pemerintah sebenarnya berhak mendapat pajak, tapi kita tidak memungutnya, karena kita ingin berikan fasilitas ini untuk mendorong perekonomian,” jelas Sri Mulyani di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Kamis (18/10/2018).

Wanita yang akrab disapa Ani ini menjelaskan, berbagai fasilitas tersebut yakni jenis fasilitas yang dinikmati dunia usaha. Ini dilakukan dalam rangka menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintah.

“Dalam rangka untuk menjadi transparan, sebetulnya dunia usaha siapa aja sih yang dapat fasilitas, dimana mereka, mendapatkan berapa, maka kami perlu membuat laporan belanja perpajakan. Ini pertama kali dalam sejarah perekonomian Indonesia dan Kemenkeu. Indonesia menerbitkan berapa jumlah fasilitas pajak itu diberikan,” imbuh dia.

Menurutnya, sejumlah negara maju pun telah melakukan hal tersebut. Misalnya, tax expenditure Kanada yakni mencakup PPh Badan dan orang pribadi, Australia dan Amerika Serikat ruang lingkup tax expenditurenya untuk pajak pusat, sedangkan Jepang cakupannya untuk PPh individu dan badan usaha.

“Jadi definisi tax expenditure adalah penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system) yang menyasar kepada hanya sebagian subjek dan objek pajak dengan persyaratan tertentu. Untuk emerging, kita termasuk maju karena belum banyak negara emerging yang melakukan ini,” tandasnya.

 

Sumber : sindonews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only