Pengamat Ungkap Penyebab Kurangnya Kepatuhan Pajak

JAKARTA – Selama empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK), rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau yang biasa dikenal dengan tax ratio sejak 2014 memang terus merosot. Pada periode tersebut, tax ratio tercatat cukup tinggi hingga 13,7%, namun menurun dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.

Pada 2015 tax ratio Indonesia berada di angka 11,6%, kemudian pada 2016 kembali turun menjadi 10,8%, lalu pada 2017 tax ratio stagnan di 10,7%. Pada tahun ini dan tahun depan, pemerintah menargetkan tax ratio bisa di 11.6% dan 12,1%.

Salah satu penyebabnya menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo adalah soal kepatuhan pajak.

” Tax ratio rendah memang karena kepatuhan. Sebenarnya cara berpikir kita kelirunya disitu. Kita ini ngejar penerimaan tapi penerimaan itu hanya outcome dari tingkat kepatuhan yang tinggi,” ujarnya kepada AKURAT.CO di Jakarta, Selasa (23/10).

Menurut Yustinus, sistem pajak yang baik harus memiliki output yakni sistem kepatuhan. Sebab output kepatuhan itu punya outcome namanya penerimaan.

Ada beberapa penyebab rendahnya kepatuhan pajak, pertama adalah kemajuan teknologi dalam administrasi pajak dengan single identity number yang belum dimiliki Indonesia. Meskipun pemerintah telah menerapkan Automatic Exchange Of Information (AEoI).

” Jadi sejarang AEoI itu membuat kita tahu apanya. Tapi siapanya belum kita punyai. Harusnya kan dikawinkan dua (Nomor Induk Penduduk dan Nomor Pokok Wajib Pajak) ini. Menjadi PR sekarang single id ini mengawinkan NPWP dengan NIK,” jelasnya.

Lalu kedua yakni pentingnya consumtion base income tax atau pajak penghasilan yang didasarkan pada konsumsi, dengan menangkap transaksi di bank dan single identity number.

” Bukan memajaki konsumsi. Tapi pajak penghasilan yang didasarkan pada konsumsi. Jadi consumtion base income tax itu penting artinya saya beli ini itu karena saya punya income. Nah dasarnya dari konsumsi. Konsumsi itu tempat mencegat aja sebenarnya. Dia  beli macam-macam itu dicegat, masuk ke data base, nanti akan dikompilasi di profile. Contoh, kok belanjanya Rp1 miliar  penghasilan Rp1 juta? ada gap Rp900 juta. Anda buktikan dong dari mana itu,” lanjutnya.

Ketiga yaitu soal budaya. Yustinus menjelaskan, orang Indonesia adalah masyarakat yang patrenalistik dimana butuh keteladanan. Sehingga tidak bisa pajak mengandalkan kesukarelaan. Dan keempat adalah keterbukaan para politisi dan pejabat dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak.

“Cara paling gampang, buktikan dong pengintegerasian LHKPN dengan SPT buat pejabat. Sehingga bisa dikorscek oleh siapapun juga. Kalau sampai level itu, yang bawah pasti akan ikut,” pungkasnya

Sumber Akurat Co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only