Pemerintah Masih ‘Ngalor-Ngidul’ Atur Pajak Ekonomi Digital

Jakarta,Dalam beberapa tahun belakangan, pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait terus memutar otak untuk mengeluarkan kebijakan perpajakan yang bisa menciptakan kepastian hukum bagi sektor ekonomi digital.

Meski demikian, sampai saat ini belum ada tanda-tanda kejelasan kapan kebijakan tersebut akan dikeluarkan. Sebab, aturan perpajakan sudah ada dianggap belum cukup komprehensif an kuat dalam mengatur sistem perpajakan yang adil dan efektif bagi ekonomi digital.

Adapun poin-poin krusial yang mengemuka di lapangan adalah subjek pajak, objek pajak pertambahan nilai (PPN) berupa Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang harus dibuat lebih jelas, PPN atas transaksi pemberian cuma-cuma dalam bentuk promosi, mekanisme pungutan, dan sebagainya.

Menghadapi situasi tersebut, setidaknya ada satu jalan tengah yang bisa ditempuh untuk menjaring penerimaan dari sektor ekonomi digital, tanpa harus mengubah sistem yang ada yaitu pengenaan PPN atas transaksi jasa digital cross border secara lebih optimal.

“Kami sudah studi komparatif mengenai hal ini. Kami mendukung kepentingan negara mendapatkan haknya,” kata Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dalam sebuah diskusi, Jakarta, Kamis (25/10/2018).

Sebagai informasi, PPN menganut prinsip destination principle yaitu pajak yang dikenakan pada tempat atau jasa itu dikonsumsi atau negara sumber penghasilan. Aktivitas Over The Top (OTT) misalnya, jelas memenuhi syarat sebagai transaksi yang terutang PPN.

Salah satu sumber potensi penerimaan pajak memang beradal dari OTT. Namun, berdasarkan pengalaman beberapa negara, penerapan PPh atau introduksi jenis pajak baru OTT terus menjadi polemik, sehingga butuh jalan tengah.

Prastowo menjelaskan, pengenaan PPN atas jasa digital ini telah direkomendasikan oleh OECD dan telah dipraktikkan oleh beberapa negara. Mekanisme yang diterapkan antara lain supplier collection, yaitu menyerahkan tugas pemungutan PPN pada supplier asing.

“Teknis pemungutannya adalah supplier dengan omset melebihi threshold Rp 4,8 miliar diwajibkan untuk melakukan registrasi sebagai pemungut PPN. PPN yang terkumpul disetor dan dilaporkan dalam periode tertentu melalui mekanisme simplified registration,” katanya.

Meski demikian, sambung Prastowo, mengimplementasikan supplier collection tetap membutuhkan perubahan payung hukum berupa revisi Undang-Undang (UU) PPN Pasal 3 ayat 3 yang substansinya mengatur pendekatan customer collection.

“Tidak hanya itu, pasal 2 UU KUP yang mengatur tempat dan syarat pendaftaran juga harus direvisi. Reformasi pajak menjadoi momentum yang tepat untuk memperbaiki kerangka hukum dan aturan teknis pemajakan ekonomi digital,” katanya.

Sumber  CNBC Indonesia 

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only