Wajib Lapor, Pajak Bidik E-Commerce Punya NPWP

Aturan pajak nanti, tahap awal, Ditjen Pajak berharap para pelaku e-commerce memiliki NPWP

JAKARTA. Rencana pemerintah memungut pajak atas perdagangan elektronik (e-commerce) hingga kini belum kunjung ada hasilnya. Padahal, rencana ini telah bergulir sejak tahun lalu. Bahkan, regulasi yang mengatur rencana itu hingga kini juga belum rampung digodok.

Pemerintah mengaku, saat ini, akan fokus membantu pelaku usaha e-commerce dari segi pelaporan. Ihwal aturan pemungutan pajak masih jauh. “Tahap awal, pelaporan dulu yang akan kami atur supaya tetap bisa memberikan kepuasan pelaku usaha di sektor e-commerce,” tandas Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Rofyanto Kurniawan Rofyanto, Kamis (25/10).

Namun, belum lama ini, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kemkeu Robert Pakpahan kepada KONTAN mengatakan, Ditjen Pajak masih mempelajari pajak untuk ekonomi digital di dalam negeri secara bertahap. Namun, dalam waktu dekat, ia akan menerbitkan aturan yang bisa mengakomodasi pelaku bisnis e-commerce untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Melalui aturan ini pula, “Mereka wajib menyampaikan data ke Ditjen Pajak sehingga kami bisa menerapkan self assessment dalam proses pemajakan mereka nanti,” kata Robert.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menjelaskan, aturan ini akan menyasar para pelapak baik perorangan maupun usaha mikro kecil dan menegah (UMKM) yang berdagang melalui platform e-commerce.

Tahap awal, pengusaha harus nyaman berjualan di e-commerce.

Adapun skema terbaik sejauh ini yaitu platform yang membantu Ditjen Pajak menjadi channel bagi pelapak untuk mendaftar NPWP. “Intinya tujuannya adalah pelaku tetap nyaman berjualan di platform e-commerce dengan ketentuan pajak nanti,” kata Hestu.

Tetap menerapkan sistem self assessment, Ditjen Pajak lebih akan mengedepankan pembinaan terhadap UMKM sehingga industri ini tetap tumbuh. Toh, “Sudah ada PPh Final juga yang hanya 0,5% untuk UMKM sehingga ini bisa mebantu,” ujarnya.

Makanya Hestu masih belum mau menargetkan kapan penyelesaian aturan itu. Ia bilang, rancangan aturannya masih terus didiskusikan antara Ditjen Pajak, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), serta para pelaku platform e-commerce.

Aturan belum memadai

Ditjen Pajak selama ini menggunakan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak SE 62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi E-Commerce. Hanya, SE itu belum memadai dan kuat untuk mengatur perpajakan industri e-commerce di dalam negeri.

Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai, sejumlah poin krusial belum terakomodasi dalam aturan tersebut. “Seperti subjek pajak, objek PPN berupa barang kena pajak atau jasa kena pajak harus lebih jelas, serta dasar pengenaan PPN atas transaksi pemberian cuma-cuma yang sering dilakukan untuk promosi, mekanisme pemungutan, dan lainnya,” terang Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif CITA. Padahal, potensi penerimaan dari bisnis ini cukup besar.

Menurut Prastowo, pemerintah harus segera menyelesaikan sejumlah regulasi pajak ekonomi digital. Hal itu, agar bisa memberikan kepastian kepada pelaku industri digital dan memberikan pendapatan negara dari sektor tersebut

Menurut Prastowo, industri ekonomi digital tidak bisa selamanya bersembunyi dari aturan pajak dibalik jargon sharing economy. “Baik usaha konvensional maupun digital sama-sama memiliki kewajiban dan kontribusi pajak,” tambah dia.

Catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sektor ekonomi digital berkontribusi 7,2% terhadap total PDB dengan nilai Rp 225 triliun di tahun 2015, tumbuh 10% setiap tahunnya.

Sumber: Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only