Gairahkan Perekonomian, Jajaki Penghapusan Pajak Rumah Mewah

JAKARTA – Rencana pemerintah menghapus pajak pembelian rumah diyakini membawa dampak bagi pertumbuhan ekonomi. Sebelumnya, pemerintah mengungkapkan sedang mempertimbangkan penghapusan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) pada pembelian rumah.

Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menyatakan, jika PPh 22 dan PPnBM pada transaksi jual beli rumah dihapus, harga rumah dapat ditekan. Selain itu, sektor properti akan tumbuh lebih pesat. ”Itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebab, sektor tersebut punya multiplier effect yang besar,” katanya kemarin (19/10).

Penjualan properti yang meningkat akan mendorong pertumbuhan sektor turunannya. Misalnya, industri semen, furnitur, bahkan serapan tenaga kerja akan meningkat. Pras -sapaan karib Yustinus Prastowo- menilai wacana penghapusan pajak itu adalah rencana yang baik. Sebab, pungutan dalam transaksi jual beli properti sudah banyak.

Selain PPh dan PPnBM, ada juga bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), serta sumber dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ketika proses balik nama di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Komponen-komponen tersebut sudah cukup banyak memberikan pemasukan buat negara.

Jika beberapa komponen dihilangkan atau diubah perhitungannya sehingga meringankan wajib pajak (WP), memang negara dapat kehilangan potensi penerimaan pajak. Namun, sebagai gantinya, penjualan properti akan membaik sehingga laju pertumbuhan ekonomi lebih cepat.

PPh pasal 22 sendiri saat ini dikenakan untuk pembelian rumah dengan harga di atas Rp 5 miliar. Selanjutnya, PPnBM dikenakan bagi rumah yang luas bangunannya minimal 350 meter persegi. Pungutan itu hanya dikenakan untuk penjualan rumah dari pengembang alias hanya untuk rumah baru di pasar primer.

Selanjutnya, pada penjualan rumah bekas atau di pasar sekunder, pajak-pajak tersebut tidak berlaku. Menurut Pras, sebaiknya pemerintah menaikkan threshold pengenaan PPh 22 dan PPnBM.

”Jadi, PPh yang tadinya dikenakan untuk rumah Rp 5 miliar ke atas bisa naik jadi ke harga Rp 10 miliar atau Rp 20 miliar. Selanjutnya, untuk PPnBM, dinaikkan threshold-nya dari 350 meter persegi menjadi 500 persegi,” urainya. Hal itu perlu dilakukan karena saat ini sudah terjadi pergeseran definisi mengenai harga dan luas rumah yang dianggap mewah oleh masyarakat.

Mengapa tak dihapus saja? Menurut Pras, hal tersebut menyangkut keadilan antara penjualan properti di pasar primer dan sekunder. PPh 22 dan PPnBM yang tidak ada di pasar primer membuat rumah mewah bekas lebih menarik bagi pembeli dari segi harga. Akibatnya, pengembang lebih sulit menjual rumah mewah baru.

”Di pasar sekunder memang tidak memungkinkan untuk dikenakan PPh 22 dan PPnBM. Tetapi juga, untuk keadilan dan menghindarkan dari pencucian uang dan penghindaran pajak, harus ada sistem yang menghubungkan data dari Kemenkum HAM ke Ditjen Pajak mengenai data pengerjaan jual beli rumah bekas yang dikerjakan notaris,” saran Pras.

Hal itu membuat Ditjen Pajak lebih mudah memantau harta WP yang didapat dari penjualan rumah bekas. Baik mengenai rumah yang dibeli pembeli, uang hasil jual rumah, maupun fee marketing rumah tersebut. PPnBM bagi rumah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35/PMK.010/2017. Selanjutnya, PPh 22 diatur dalam PMK Nomor 90/PMK.03/2015.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara menyatakan, pihaknya belum memutuskan kebijakan yang akan diambil. ”Apakah PPh atau PPnBM, seperti apa, masih belum tahu. Yang jelas, masih akan dilihat yang dampaknya lebih signifikan,” katanya.

 

Sumber : radarbogor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only