Ekonomi Digital Butuh Aturan Pajak yang Jelas, Ini Alasannya

JAKARTA, Potensi ekonomi digital sangat besar sehingga menarik minat para investor. Berdasarkan kajian Google dan A.T Kearney 2017, investasi asing untuk bisnis digital senilai USD3 miliar masuk ke Indonesia. Potensi pasar digital diperkirakan mampu mencapai USD130 miliar pada 2020.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, meski memiliki kontribusi besar, sektor ekonomi digital tumbuh dengan dibayangi ketidakpastian.

Sektor ekonomi digital di Indonesia masih dibayangi kebijakan perpajakan yang belum menentu.

“Melihat keberhasilan kita memajaki Google, berikutnya e-commerce. Jenis pajaknya tidak ada masalah, hanya bagaimana memajakinya. Maka kami menganggap ini bisa diselesaikan dengan duduk bersama. Meski sampai hari ini aturannya belum keluar,” ujarnya di Jakarta, kemarin.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2015 sektor ini mampu berkontribusi sebesar 7,2% terhadap total PDB dengan size sebesar Rp225 triliun dan tumbuh 10% setiap tahunnya (yoy).

Ekonomi digital menciptakan kesempatan kerja sebanyak 10.700 untuk setiap peningkatan titik persentasenya. Menurut dia, negara harus memperoleh haknya berupa penerimaan perpajakan dari aktivitas ekonomi digital.

Namun, hal itu tetap harus mempertimbangkan prinsip kehati-hatian, proporsionalitas, dan keadilan, termasuk pertimbangan pentingnya komparasi kebijakan dengan negara lain.

“Untuk itu, pemerintah diharapkan segera menerbitkan kebijakan dan aturan perpajakan demi menciptakan kepastian hukum bagi sektor ekonomi digital,” ungkapnya.

Adapun poin-poin krusial antara lain subjek pajak, objek PPN berupa BKP/JKP yang harus dibuat lebih jelas, DPP PPN atas transaksi pemberian cumacuma yang sering dilakukan sebagai bentuk promosi, mekanisme pemungutan, danlainnya.

“Pengaturan dan pengawasan yang harus dilakukan terhadap pemungutan PPN oleh WP Badan/WP OP yang sudah memiliki omzet di atas Rp4,8 miliar karena besarnya potensi PPN dari e-commerce domestik. Sedangkan pemungutan PPN atas barang impor (e-commerce asing) sebagian telah dapat dipungut saat impor,” tutur Yustinus.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rofyanto Kurniawan mengakui aturan perpajakan digital belum sempurna. Pada tahap awal, hanya dari sisi pelaporan saja, belum termasuk pajak.

“Jadi, mungkin belum masuk memungut. Baru membantu pelaporan, pemberian data. Pada tahap awal itu dulu yang akan coba kita atur agar bisa memberikan kepuasan pelaku usaha di sektor e-commerce,” ujarnya.

Rofyanto menambahkan, e-commerce hanya cara bertransaksi sebagaimana konvensional, tidak ada tambahan beban pajak baru. “Untuk itu, pemerintah berupaya menciptakan level playing field yang setara antara perdagangan online dengan perdagangan konvensional,” tuturnya.

Sumber : okezone.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only