Jakarta – Kenaikan suku bunga dan perang dagang yang dilancarkan Amerika Serikat memang masih membayangi ekonomi kita hingga tahun depan. Investor asing masih mengambil posisi wait and see di Bursa Efek Indonesia, sembari mencermati fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan defisit transaksi berjalan RI. Namun demikian, fundamental ekonomi nasional sejatinya masih solid, bahkan mulai fase ekspansi.
Jika dirunut, keraguan investor asing bermula dari gejolak pasar keuangan global akibat normalisasi moneter Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed), yang masih akan menaikkan suku bunga acuannya 3-4 kali lagi hingga tahun depan. Gejolak lain bersumber dari perang dagang AS dan RRT, dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.
Ketidakpastian global itu memicu derasnya capital outflow atau arus modal asing keluar dari emerging markets, termasuk Indonesia. Akibatnya, mata uang negara berkembang anjlok terhadap dolar AS, tak terkecuali rupiah kita, demikian pula mata uang Negara maju seperti dolar Australia dan Kanada melemah. Bahkan, sejumlah Negara berkembang seperti Venezuela, Turki, dan Argentina jatuh dalam krisis. Bloomberg mencatat, mata uang Garuda melemah 0,04% kemarin, ke Rp 15.222 per dolar AS. Rupiah sudah terdepresiasi 12,3% secara year to date (ytd).
Di Bursa Efek Indonesia (BEI), asing mencatatkan net sell (penjualan bersih) saham Rp 56,7 triliun. Indeks harga saham gabungan (IHSG) di BEI kemarin masih melemah 0,52% ke 5.754,6, sehingga secara ytd terpangkas 9,46%. IHSG ini tidak sendirian, bursabursa di Asia memang sudah terkoreksi dalam. Indeks bursa Shanghai Tiongkok terperosok 23,1% ytd, indeks KOSPI Korea Selatan longsor 19,1%, HSI Hong Kong 17,1%, PSEi Filipina 16,9%, dan STI Singapura 12,4%.
Kendati investasi asing banyak keluar dari bursa saham Indonesia, sejatinya itu lebih karena faktor luar. Tak heran, investor domestik masih optimistis dengan prospek negeri ini, yang menopang IHSG tak meluncur terlalu dalam. Keyakinan pemodal lokal juga tercermin dari penjualan obligasi ritel seri ORI015 oleh pemerintah awal pekan ini, yang mengalami oversubscribed 1,35 kali.
Fundamental ekonomi Indonesia secara umum cukup solid, meski current account deficit (CAD) masih menjadi titik lemah kita. Namun demikian, para analis optimistis defisit transaksi berjalan ini masih bisa diperbaiki ke depan, seiring berhasil diturunkannya impor minyak dan gas hingga 25% pada September 2018, sehingga neraca perdagangan kembali membukukan surplus US$ 227 juta.
Penurunan impor migas itu antara lain buah dari perluasan mandatori pencampuran biodiesel sawit ke solar 20% (B20). Sejak berlaku 1 September lalu, konsumsi B20 telah mencapai 437 ribu kilo liter. Impor nonmigas juga turun dari bulan sebelumnya, menyusul beleid baru pengetatan impor, lewat penaikan tarif pajak penghasilan (PPh) impor. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memastikan, likuiditas perbankan masih mencukupi hingga 2019. Dari sisi rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/ CAR) masih lebih dari 23%.
Meski loan to deposit ratio (LDR) per September 2018 sudah 93%, perbankan dipastikan bisa memenuhi ekspansi yang meningkat. Sampai September lalu, kredit perbankan tumbuh 12,6% secara tahunan (year on year). Padahal sudah dua tahun terakhir, laju pertumbuhan kredit anjlok ke level single digit. Meski ekspansi, rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) gross membaik, menjadi 2,66% per September 2018, dibandingkan 2016 yang 2,93%.
Korporasi di Indonesia juga sudah mumpuni untuk mendiversifikasi sumber pendanaan, tak hanya mengandalkan kredit perbankan yang bunganya terkerek naik. Ini misalnya lewat emisi surat utang dan penawaran umum perdana (initial public of fering/IPO) saham.
Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia (BI) telah menyesuaikan suku bunga acuannya menjadi 5,75%, merespons kenaikan suku bunga The Fed yang kini menjadi 2-2,25%.
Itulah sebabnya, pendanaan dari pasar modal tetap berjalan, baik lewat IPO saham, emisi obligasi, maupun aksi korporasi lain. Emisi surat utang korporasi Januari-12 Oktober 2018 menembus Rp 101,17 triliun, di luar surat utang jangka menengah (medium term notes) dan sekuritisasi. BEI juga mendapat tambahan 46 emiten baru selama Januari-29 Oktober 2018, dengan nilai IPO saham mencapai Rp 14,13 triliun. Sebanyak 21 perusahaan pun masih antre untuk mencatatkan saham di BEI hingga akhir tahun ini.
Tak hanya jenis perusahaan yang IPO saham di BEI bertambah variasinya, seperti perusahaan sektor digital, diversifikasi pendanaan semakin marak ke depan. Itulah sebabnya, OJK kini menggodok peraturan mengenai equity crowd funding, yakni layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi, yang diharapkan menambah keleluasaan untuk efisiensi pendanaan.
Dari sisi kinerja emiten hingga kuartal III-2018, umumnya positif. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk beserta entitas perusahaan anak, misalnya, hingga triwulan III tahun ini membukukan laba bersih Rp 23,5 triliun, tumbuh 14,6% dibandingkan periode sama tahun lalu. Laba bersih PT United Tractors Tbk (UNTR) bahkan meningkat 61,10% menjadi Rp 9,07 triliun dalam sembilan bulan 2018, dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Ini ditopang pendapatan yang melonjak 32,21% menjadi Rp 61,12 triliun, yang disumbang bisnis unit mesin konstruksi sebesar 35%, unit kontraktor penambangan 47%, bisnis per tambangan 13%, dan unit bisnis industri konstruksi 5%. Dari kinerja UNTR itu terlihat bahwa di tengah gejolak keuangan global dan tekanan penguatan dolar terhadap rupiah, roda ekonomi di negeri ini tetap bergulir.
Meski BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III-2018 di bawah 5,2%, tetapi bakal terjadi perbaikan di kuartal IV, sehingga tahun ini bisa mencapai 5,2%. Ini berarti membaik dari realisasi tahun lalu 5,07%. Kendati tidak secepat yang kita harapkan, hal itu menunjukkan proses recovery.
Pertumbuhan ekonomi ini tergolong sehat, sebab ditopang oleh beberapa faktor seperti konsumsi rumah tangga yang stabil di kisaran 5%, yang menandai bahwa masyarakat memiliki daya beli yang baik dan didukung inflasi terkendali. Pertumbuhan investasi juga diperkirakan masih di atas 7% untuk triwulan III. Survei Prompt Manufacturing Index kuartal III-2018 juga naik menembus 52,02%, di mana kalau lebih dari 50% adalah fase ekspansi.
Artinya, industri pengolahan kita fase ekspansi, dan akan berlanjut pada kuartal IV-2018 karena peningkatan permintaan musiman Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Masih prospektifnya investasi di Indonesia juga dikonfirmasi oleh Brand Finance. Perusahaan konsultan penilaian merek global ini mengevaluasi Negara berdasarkan keadaan ekonomi dan social secara keseluruhan. Merek nasional dengan kategori kuat menunjukkan lingkungan yang sangat menarik untuk investasi, mendorong investasi masuk, menambah nilai ekspor, dan menarik wisatawan serta pekerja terampil. AS menjadi merek negara paling berharga senilai US$ 25,9 triliun, dibuntuti RRT dengan nilai US$ 12,8 triliun.
Sementara itu, Indonesia berada di peringkat ke-16 dengan nilai US$ 848 miliar, mengungguli negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya, bahkan jauh di atas Singapura di posisi ke-28 dengan nilai US$ 530 miliar. Jadi, kini adalah momen tepat untuk berinvestasi di negeri ini. (*
Sumber Berita Satu
Leave a Reply