JAKARTA – Penerimaan pajak impor sampai dengan akhir Oktober 2018 masih terjaga pada level 27%-28%. Kendati memberikan efek positif ke penerimaan, pertumbuhan pajak impor yang masih tinggi menunjukkan kebijakan pengendalian impor yang dijalankan pemerintah belum berlangsung optimal.
Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa realisasi PPN impor sampai dengan akhir Oktober sebesar Rp151,18 triliun atau tumbuh 28,12%, sedangkan PPh 22 impor tercatat senilai Rp45,25 triliun atau tumbuh 27,67%. Pertumbuhan penerimaan pajak impor pada Oktober lebih ini tinggi dibandingkan dengan September yang untuk PPN Impor 27,5% dan PPh 22 impor sebesar 26,2%.
Selain dua jenis pajak tersebut, indikasi masih tingginya impor tampak dari realisasi bea masuk yang per Oktober 2018 mencapai Rp31,9 triliun atau 89,4% dari target dalam APBN 2018 yang dipatok senilai Rp35,7 triliun.
Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengakui bahwa pertumbuhan penerimaan pajak dari impor relatif masih cukup tinggi. Menurutnya, masih tingginya penerimaan pajak impor dikarenakan fokus kebijakan pengendalian impor hanya ke barang konsumsi, sehingga efeknya ke impor masih belum optimal.
“Tetapi hasil review soal pengendalian impor terhadap barang konsumsi tadi positif hasilnya,” kata Heru, Senin (5/11/2018).
Setidaknya sampai dengan September 2018, data BPS menunjukkan bahwa porsi impor barang konsumsi hanya 9,2% dari total impor selama bulan September yang mencapai US$138,7 miliar. Angka 9,2% menunjukkan bahwa porsi impor barang konsumsi jauh lebih rendah dibandingkan dengan porsi impor bahan baku penolong sebesar 75% dan barang modal 15,7%.
Artinya dengan proporsi tersebut, upaya pengendalian impor yang hanya fokus ke barang konsumsi hanya akan berdampak sedikit pada terhadap kinerja impor pemerintah.
Sementara itu, Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Yon Arsal menyebutkan bahwa jika melihat dari aspek penerimaan, pertumbuhan pajak impor masih belum menunjukkan indikasi penurunan.
Kendati demikian, menurutnya, pertumbuhan pajak impor tak bisa digunakan untuk menjelaskan impor selama Oktober. Pasalnya, menurut Yon, bisa saja terjadi volumenya turun, tetapi harga dan kurs-nya mengalami kenaikan, sehingga dari aspek pertumbuhan penerimaannya sama dengan bulan sebelumnya.
“Untuk menarik kesimpulan soal itu tentu menbutuhkan data dari Bea Cukai, kalau kami pegang datanya dalam bentuk rupiah,” jelasnya.
Sumber: finansial.bisnis.com
Leave a Reply