Sosialiasi Anggaran Pajak Rokok, Begini Penjelasakan BPJS Kesehatan di Riau

PEKANBARU – Pemerintah melalui peraturan perubahan atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), telah menetapkan pemanfaatan anggaran pajak rokok yang diterima daerah guna mendukung pelaksana program JKN yang dilaksanakan BPJS Kesehatan.

Sebagaimana diketahui, selain sebagai upaya mencukupi anggaran di masa yang akan datang, perpres tersebut juga dikeluarkan untuk menutupi defisit anggaran yang saat ini terjadi di tubuh BPJS Kesehatan.

Deputi Direksi BPJS Kesehatan wilayah Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) dan Jambi, Siswandi menyebutkan, BPJS Kesehatan di seluruh wilayah di Indonesia sudah mulai melakukan sosialisasi tentang pemungutan Pajak Rokok ini kepada pemerintah daerah setempat.

Sedangkan khusus daerah Riau, sosialiasi rencana akan dimulai pekan ini atau pekan depan.

“Karena aturan ini masih baru. Tahap awal kita milihat dulu APBD daerah bagaimana anggaran biaya pelaksanaan program kesehatannya. Kalau kurang dari ketentuan, barulah dilakukan pemungutan (pajak rokok, red),” jelas Siswandi di Kantor BPJS Sumbagteng Jambi Jalan Jenderal Sudorman Pekanbaru, usai kegiatan penyerahan bantuan taman batu reflesi yang dibangun di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tunjuk Anjar, Senin (5/11/2018) kemarin.

Ia menyebut, dengan adanya perpres ini, tentu dapat mewujudkan program JKN-KIS yang lebih baik.

Setiap daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten ataupun kota, mau tidak mau harus melakukan pengitungan anggaran pajak rokoknya kemudian mengalokasikannya ke BPJS Kesehatan di darah masing-masing.

“Kalau tidak dihitung dan dialokasikan maka pusat yang akan mengambilnya dan diserahkan ke BPJS Kesehatan, kemudian, BPJS Kesehatan menghitung kembali dan dibagi ke setiap wilayah kerja BPJS Kesehatan di Indonesia. Maka sebaiknya daerah menghitung sendiri, dari pada dana itu diserahkan ke daerah lain,” tuturnya.

Siswandi menyebutkan, besaran pajak rokok dari cukai rokok sebesar 10 persen. Dialokasi untuk Provinsi sebesar 30 persen dan Kabupaten Kota sebesar 70 persen.

Sesuai peraturan presiden, setiap pemerintah daerah wajib mendukung program JKN salah satunya yang dilaksanakan melalui kontribusi penerimaan dari pajak rokok yang menjadi bagian hak masing daerah baik itu provinsi, kabupaten ataupun kota.

Pajak rokok yang juga disebut Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diterima tiap daerah ini, daerah harus mengalokasinnya sebesar 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.

Dari alokasi 50 persen itu, memperuntukkan 75 persennya untuk pendanaan program JKN.

Ia menyampaikan, DBHCHT di tiap daerah yang disisihkan untuk pelaksanaan program JKN, akan dipergunakan untuk kegiatan pelayanan kesehatan baik itu promotit, preventif, kuratif, ataupun rehabilitatif.

Kemudian bisa juga dipergunakan untuk penyediaan, peningkatan atau pemeliharaan sarana prasarana faskes yamg bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

“Bisa juga untuk pelatihan tenaga kesehatandan atau tenaga administrasi pada Faskes JKN. Atau pembayaran iuran Jaminan Kesehatan penduduk yang didaftarkan Pemda atau yang terkena PHK,” jelas Siswandi.

Siswandi juga memaparakan, mekanisme pemotongan penerimaan pajak rokok daerah untuk pelaksanaan program JKN akan dilakukan dengan beberapa ketentuan.

Pertama bila anggaran Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) provinsi, kabupaten atau kota sebesar 37,5 persen atau lebih, maka tidak akan dilakulan pemotongan pajak rokonya sama sekali. Sedangkan bila anggaran Jamkesda suatu daerah kurang dari 37,5, maka pemotongan akan dilakukan sebesar selisih angkan 37,5 persen tersebut.

“Ketiga atau yang terakhir, pemerintah akan memotong anggaran sampai dengan nilai maksimal (37,5 pesen) bila pemerintah daerah sama sekali tidak menganggarkan kontribusi untuk JKN dalam APBDnya,” terang Siswandi.

Dengan adanya anggaran dari pajak rokok untuk mendukung pelaksanaan program JKN ini, tentu akan meringankan beban atau defisit anggaran yang selama ini dialami BPJS Kesehatan.

Dari data yang Tribun himpun, terlihat iuran yang kepesertaan yang diterima BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun memiliki selisih yang cukup signifikan bila melihat pada klaim yang dibayarkan ke fasilitas kesehatan (faskes).

Di 2014, BPJS Kesehatan di Riau membayarkan klaim ke faskes sekitar Rp516,974 miliar, sedangkan iuran yang dietrima hanya sekitar Rp303,999 miliar.

Tahun 2015 klaim yang dibayarkan sekitar Rp828,471 sedangkan iuran hanya sekitar Rp599,627 miliar. Tahun 2016 klaim ke faskes sekitar Rp1,1 triliun lebih sedangkan iuran hanya sebesar Rp775,181.

Tahun 2017 klaim sebesar Rp1,4 triliun lebih dengan iuran yang diterima hanya sekitar Rp945,947.

Sampai bulan September 2018, jumlah klaim yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan ke seluruh faskes di Riau mencapai angka Rp1,2 trilun lebih.

Angka ini jauh lebih tinggi bila dibanding iuran yang diterima sebesar Rp691,671 miliar.

 

Sumber : tribunnews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only