Instruksi Jokowi agar Kontraktor Jual Minyak ke Pertamina Tak Mulus

Instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar kontraktor menjual minyaknya ke PT Pertamina (Persero) tak berjalan mulus. Sejak instruksi itu dikeluarkan Juni, hingga kini, belum semua kontraktor menjual minyaknya ke Pertamina. Padahal, kebijakan ini diharapkan bisa membantu meredam gejolak nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) mengatakan sampai saat ini memang masih ada kendala dalam implementasi kebijakan tersebut. Salah satunya adalah terkait pajak.

Dalam hal ini, kontraktor dikenakan pajak hingga 44% untuk menjual minyaknya ke Pertamina. Padahal jika menjual ke luar negeri pajaknya hanya 17%.

Masalah perpajakan tersebut masih menjadi pembahasan antara Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas). “Kami sudah kirim surat. Sudah ada rapat-rapat, workshop, Focus Group Discussioun (FGD),” ujar Djoko di Kementerian ESDM, Senin (5/11).

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar pun pernah mengatakan akan ada revisi Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 5 Tahun 2014 untuk mengatasi masalahi tersebut. “Update-nya adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak direvisi,” kata dia di Jakarta, Selasa (9/10).

Namun, menurut sumber Katadata.co.id, aturan tersebut tak perlu direvisi. Alasannya, poin-poin yang diminta sudah diatur.

Poin pertama mengenai premium dan demium yang timbul dalam transaksi penjualan minyak tersebut berlaku ketentuan umum Pajak penghasilan (PPh). Tarifnya sesuai pasal 17 UU PPh, yakni sebesar 25% dengan tambahan pajak penghasilan atas laba, setelah pajak (Branch Profit Tax).

Premium adalah selisih positif harga jual minyak KKKS ke Pertamina yang minus ICP (KKKS ada keuntungan). Demium adalah selisih negatif harga jual ke Pertamina minus ICP (KKKS ada kerugian).

Kedua, penyajian atas premium dan demium dapat terakomodasi dalam SPT Tahunan PPh badan yang ada saat ini. SPT tersebut berupa formulir SPT 1771 khususnya pada kolom penghasilan luar usaha.

Ketiga, mengacu Keputusan Dirjen Pajak Nomor 537/PJ/2000, penghasilan berupa premium termasuk dalam penghasilan tidak teratur, dengan begitu penghasilan premium tidak diperhitungkan dalam menghitung besaran angsuran PPh pasal 25. Alhasil, perhitungan dan penyajiannya dilakukan selama satu tahun pajak sesuai mekanisme PPh pasal 29 UU PPh.

“Berdasarkan hal-hal tersebut, tidak diperlukan adanya perubahan aturan (Perdirjen), atau pengaturan baru terkait transaksi penjualan minyak kontraktor kepada Pertamina,” kata sumber tersebut.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan permasalah pajak itu memang bisa menjadi kendala jika tidak diselelesaikan. Dengan pajak tersebut, Pertamina berpotensi membayar lebih mahal. Kontraktor jika tidak mau menjual minyaknya jika dikenakan pajak. Apalagi, jika menjual ke luar negeri biaya lebih murah daripada ke Pertamina.

Dengan kondisi tersebut, Komaidi menilai, keinginan pemerintah agar kebijakan tersebut bisa mengurangi kebutuhan devisa tidak mudah. “Target pengurangan devisa untuk impor minyak paling tidak belum bisa tercapai sesuai target awal,” kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (6/11).

Grup Bakrie Sepakat Jual Minyak ke Pertamina

Sedangkan kontraktor yang sudah bersedia menjual minyaknya adalah PT Energi Mega Persada. Djoko Siswanto mengatakan perusahaan Grup Bakrie ini akan memasok 5.500 barel per hari (bph), atau 2 juta barel per tahun kepada Pertamina.

Vice President of Investor Relation EMP Herwin Wahyu pernah mengatakan nantinya Pertamina akan membayar minyak dari perusahaannya menggunakan Rupiah. “Jadi sejak dua bulan lalu hampir seluruh produksi minyak kami jual ke Pertamina dan penerimaannya dalam rupiah,” kata Herwin kepada Katadata.co.id, Selasa (30/10).

Sumber: katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only