Produksi Melimpah Harga CPO Malah Terpuruk

JAKARTA – Daya beli minyak sawit oleh negara pengimpor masih menunjukkan pelemahan pada September 2018. Alhasil ekspor minyak sawit Indonesia termasuk biodiesel dan oleochemical tercatat menurun 3% atau dari 3,3 juta ton di bulan Agustus tergerus menjadi 3,2 juta ton di September.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Mukti Sardjono, menyebutkan rendahnya harga CPO global tidak menjadi daya magnet yang kuat kepada negara impor pasalnya harga minyak nabati lain juga sedang murah terutama kedelai, rapeseed dan biji bunga matahari.

Harga kedelai sendiri jatuh hingga berada pada level terendah sejak tahun 2007. Eskalasi perang dagang antara China dan AS mempunyai andil yang cukup besar dalam mempengaruhi harga kedelai.

“Pasar minyak sawit tidak bergeliat meskipun harga sedang murah. Pasalnya salah satu negara penghasil kedelai terbesar yaitu Argentina juga mengambil tindakan dengan mengurangi pajak ekspor kedelai guna menarik pembeli,” paparnya dalam rilis kepada tribunpontianak.co.id, Rabu (7/11/2018).

Produksi minyak sawit yang meningkat terutama di Indonesia dan Malaysia memperburuk situasi sehingga stok menumpuk di dalam negeri. Sepanjang September 2018, volume ekspor minyak sawit Indonesia (CPO, PKO dan turunannya) tidak termasuk oleochemical dan biodiesel hanya mampu mencapai 2,99 juta ton.

Angka ini mengalami stagnasi dibandingkan bulan sebelumnya dengan kecenderungan menurun. Secara year on year kinerja ekspor minyak sawit dari Januari – September 2018 mengalami penurunan sebesar 1% atau dari 23,19 juta di Januari – September 2017 turun menjadi 22,95 juta ton pada periode yang sama 2018.

India tetap menjadi negara pembeli tertinggi CPO dan produk turunannya dari Indonesia. Pada September ini impor India membukukan 779,44 ribu ton. Angka ini mengalami penurunan 5% dibandingkan dengan impor bulan sebelumnya dimana impor mencapai 823,34 ribu ton.

Baru-baru ini pemerintah India meliris kebijakan tentang biofuel dimana target pencampuran bensin 20% untuk etanol dan 5% pencampuran diesel untuk biodiesel pada 2030. Kebijakan ini tentunya membuka peluang pasar lebih besar kepada Indonesia untuk memenuhi pencampuran biodiesel berbasis sawit.

Pemerintah sudah seharusnya memberikan perhatian khusus kepada pasar minyak sawit di India terutama terkait tarif bea masuk. Malaysia akan menikmati pengurangan tarif bea masuk masing-masing 5% untuk CPO dan refined product-nya sebagai buah dari Free Trade Agreement (FTA) yang efektif diberlakukan 1Januari 2019.

“Peluang Indonesia untuk mengisi kebutuhan minyak sawit India akan terus tergerus jika tidak ada langkah meningkatkan perdagangan baik melalui perjanjian bilateral (FTA) atau perjanjian perdagangan khusus (preferential trade agreement),” katanya.

Penurunan impor CPO dan produk turunannya dari Indonesia juga dicatatkan oleh China (25%), Pakistan (24%), AS (50%) dan negara-negara Timur Tengah (21%). Di sisi lain, Uni Eropa membukukan kenaikan impor CPO dan produk turunannya sebesar 16% diikuti Bangladesh sebesar 155% dan negara-negara Afrika sebesar 47%.

Kenaikan ini merupakan kenaikan normal karena pada bulan sebelumnya ada penurunan. Pada bulan September, sudah tidak ada lagi panen rapeseed dan bunga matahari di Eropa dan kawasan tersebut sudah mau memasuki musim dingin.

Khusus untuk produk RBD Palm Olein atau minyak goreng, ekspor ke beberapa negara Afrika terus mengalami kenaikan secara konsisten setiap bulannya. Negara-negara Afrika memiliki potensi besar untuk menjadi pasar utama minyak goreng jika pemerintah dapat memberikan insentif melalui pengurangan pungutan untuk ekspor minyak goreng dalam bentuk kemasan.

Di sisi produksi, sepanjang bulan September 2018 produksi diprediksi mencapai 4,41 juta ton atau naik sekitar 8,5% dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 4,06 juta ton. Naiknya produksi karena memang pada bulan September sudah mulai memasuki siklus tinggi musim panen tahunan sawit.

Naiknya produksi dan stagnannya ekspor mengakibat stok minyak sawit Indonesia meningkat hingga mencapai 4,6 juta ton.

“Beralih ke biodiesel, pada awal September 2018 pemerintah telah mengeluarkan regulasi perluasan mandatori B20 kepada non-PSO dimana sebelumnya hanya berlaku untuk PSO saja. Perluasan mandatori B20 ini sudah mulai menunjukkan kenaikkan yang cukup signifikan penyerapan biodiesel di dalam negeri,” ungkapnya.

Pada September penyerapan biodiesel mencapai 402 ribu ton atau naik 39% dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 290 ribu ton. Penyerapan belum meningkat sesuai dengan target karena masih terkendala infrastruktur dimana titik penyebaran pengiriman biofuel sangat tersebar dan juga tidak dilengkapi dengan tanki penimbunan yang memadai.

Diperkiraan sampai pada akhir tahun 2018 penyerapan biodiesel di dalam negeri akan bertambah 940 ribu ton dari target awal, yang berasal dari penggunaan B20 non-PSO. Sementara itu realisasi purchase order (PO) Pertamina untuk mandatori B20 secara keseluruhan sampai pada September 2018 termasuk PSO dan non-PSO telah mencapai
74% dari target.

Di sisi harga, sepanjang September 2018 harga bergerak di kisaran US$ 517.50 – US$ 570 per metrik ton, dengan harga rata-rata US$ 546.90 per metrik ton. Ini merupakan harga terendah yang dibukukan sejak Januari 2016 lalu. Harga CPO global terus tertekan karena harga minyak nabati lain yang sedang jatuh khususnya kedelai dan stok minyak sawit yang cukup melimpah di Indonesia dan Malaysia.

 

Sumber : tribunnews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only