Ekspor Minyak Sawit RI Turun 3%

Volume Ekspor minyak sawit Indonesia, termasuk biodiesel dan oleochemical turun 3% dari 3,3 juta ton di Agustus menjadi 3,2 juta ton di September.

Rendahnya harga CPO global tidak menjadi magnet bagi negara pengimpor, mengingat harga minyak nabati lainnya seperti kedelai, rapeseed dan biji bunga matahari juga sedang murah. Harga kedelai jatuh di level terendah sejak 2007 akibat eskalasi perang dagang AS-China.

Salah satu negara penghasil kedelai terbesar, Argentina melakukan pemotongan pajak ekspor untuk menarik pembeli. Peningkatan produksi minyak sawit di Indonesia dan Malaysia memperburuk situasi sehingga stok menumpuk di dalam negeri.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat volume ekspor minyak sawit (CPO, PKO,dan turunannya) tidak termasuk oleochemical dan biodesel hanya mampu mencatat 2,99 juta ton sepanjang September 2018, stagnan cenderung menurun secara bulanan.

Secara kumulatif, ekspor minyak sawit RI hingga September tercatat 22,95 juta ton, turun 1% dibandingkan Januari-September 2017 sebesar 23,19 juta ton.

India masih menjadi negara tujuan ekspor utama bagi produk CPO RI dan turunannya di September sebesar 779,44 ribu ton. Namun jumlah ini turun 5% secara bulanan di mana India mengimpor 823,34 ribu ton.

Baru-baru ini, pemerintah India menerapkan kebijakan biofuel dengan target pencampuran bensin 20% untuk etanol dan 5% pencampuran biodiesel pada 2030. Kebijakan ini tentunya membuka peluang pasar lebih besar bagi Indonesia bagi biodiesel berbasis sawit.

Gapki meminta pemerintah memberi perhatian khusus terhadap tarif bea masuk di India. Malaysia akan menikmati pengurangan bea masuk di India masing-masing 5% untuk CPO dan refined product sebagai buah dari perjanjian perdagangan bebas (FTA) antar kedua negara yang berlaku efektif 1 Januari 2019.

Peluang Indonesia mengisi kebutuhan minyak sawit India akan tergerus apabila tidak ada langkah dari pemerintah untuk meningkatkan perdagangan melalui FTA maupun Preferential Trade Agreement (PTA).

Data Gapki menunjukkan penurunan ekspor CPO dan turunannya di September juga tercatat ke China sebesar 25%, Pakistan 24%, AS 50%, dan negara-negara Timur Tengah 21%.

Di sisi lain, kenaikan ekspor ke Uni Eropa tercatat sebesar 16%, diikuti Bangladesh 155% dan negara-negara Afrika 47%. Kenaikan ini normal karena di bulan September sudah tidak ada lagi panen rapeseed dan bunga matahari di Benua Biru, yang kini mulai memasuki musim dingin.

Khusus untuk produk RBD palm olein atau minyak goreng, ekspor ke Afrika naik secara konsisten setiap bulannya. Negara-negara di Afrika berpotensi besar menjadi pasar utama minyak goreng bila pemerintah dapat memberikan insentif melalui pemotongan pungutan ekspor minyak goreng dalam kemasan.

Di sisi harga, sepanjang September 2018 harga bergerak di kisaran US$ 517,50 – US$ 570 per metrik ton, dengan harga rata-rata US$ 546,90 per metrik ton. Ini merupakan harga terendah yang dibukukan sejak Januari 2016.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only