Mampukah Rupiah Mempertahankan Mahkota Raja Asia?

Jakarta. Pasar keuangan Indonesia kembali menutup perdagangan kemarin dengan berbahagia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terapresiasi, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah masih tekoreksi.

Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,62%. Penguatan IHSG terjadi selama 8 hari beruntun, siklus terpanjang sejak Juli 2018.

Sementara itu, nilai tukar rupiah juga masih belum bosan menguat, sudah 3 hari beruntun finis di zona hijau. Kemarin, rupiah terapresiasi 0,27% di hadapan greenback.

Kemudian yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun kembali turun 8,1 basis poin (bps). Yield instrumen ini terus turun sejak 29 Oktober sampai kemarin, berarti sudah 9 hari perdagangan.

Situasi eksternal memang mendukung positifnya pasar keuangan Asia. Pertama, hasil pemilu sela (mid term election) di Amerika Serikat (AS). Kini, posisi mayoritas di House of Representatives dipegang oleh Partai Demokrat setelah sebelumnya dipegang oleh Partai Republik. Sementara itu, Partai Rebublik mampu mempertahankan posisi mayoritasnya di Senat.

Dengan House yang dikuasai oleh Partai Demokrat, kebijakan-kebijakan pro pertumbuhan ekonomi seperti pemotongan tingkat pajak akan menjadi sulit untuk diloloskan. Sebagai informasi, sekitar 2 minggu menjelang mid term election, Presiden AS Donald Trump menebar wacana untuk memangkas pajak penghasilan individu kelas menengah sebesar 10%.

Lebih lanjut, jika Trump berusaha mendongkrak perekonomian melalui belanja secara jor-joran, langkah ini kemungkinan besar juga akan dijegal oleh Partai Demokrat. Pasalnya, defisit anggaran di Negeri Paman Sam sudah begitu tinggi. Pada tahun fiskal 2018, defisit anggaran di AS tercatat sebesar US$ 729 miliar, naik 17% dari posisi tahun fiskal 2017, sekaligus merupakan yang terbesar sejak 2012.

Pada akhirnya, perekonomian AS yang kini sedang panas bisa menjadi dingin, sehingga The Federal Reserve/The Fed selaku bank sentral AS tak perlu kelewat agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.  Hal ini tentu bukan kabar baik bagi dolar AS. Selama ini persepsi kenaikan suku bunga acuan AS yang lebih agresif memang selalu menjadi bahan bakar penguatan greenback.

Kedua, rilis data perdagangan internasional China. Sepanjang Oktober 2018, ekspor China tumbuh sebesar 15,6% secara tahunan (year-on-year/YoY), mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar 11% YoY. Sementara itu, impor tumbuh sebesar 21,4% YoY, juga mengalahkan konsensus yang sebesar 14% YoY.

Pelaku pasar lantas menilai bahwa China ternyata tidak terlalu terluka akibat perang dagang dengan AS. Meski data-data ekonomi domestik melambat, seperti Purchasing Managers Index (PMI), tetapi kinerja eksternal China masih meyakinkan.

China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga hidup-mati China akan sangat mempengaruhi negara-negara Asia lainnya. Ketika kinerja ekonomi China impresif, maka ada harapan bisa mengangkat para tetangganya termasuk Indonesia.

Dari dalam negeri, sentimen positif datang dari rilis angka cadangan devisa. BI mengumumkan cadangan devisa per akhir Oktober 2018 sebesar US$ 115,16 miliar, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$ 114,85 miliar.

Naiknya cadangan devisa akan memberikan amunisi tambahan bagi bank sentral untuk meredam tekanan terhadap rupiah. Hal ini lantas memberikan dukungan tambahan bagi penguatan mata uang Tanah Air pada perdagangan kemarin.

Selain itu, penerbitan obligasi global oleh PT Inalum sebesar US$ 4 miliar juga memberikan amunisi bagi rupiah. Perolehan dana ini dipakai untuk membeli saham PT Freeport Indonesia.

Hasil penerbitan ini mampu menambah pasokan valas di dalam negeri sehingga rupiah menguat. Bahkan mungkin saja faktor ini menjadi kunci penguatan rupiah hingga menjadi yang terbaik di Asia.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only