Kantong Kresek Siap Merangsek

Pemerintah tidak jadi mengerek tarif cukai rokok tahun depan. Ditjen Bea Cukai menyiapkan berbagai jurus demi mengejar target penerimaan yang tetap naik.

Senyum semringah Ismanu Soemiran terus mengembang. Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) ini tak menyangka pemerintah membatalkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau yang bakal berlaku tahun depan.

Keputusan pemerintah itu keluar tepat dua pekan setelah Gappri melayangkan surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Isi surat itu: meminta pembatalan kenaikan tarif cukai rokok di 2019. “Terimakasih Bapak Presiden yang sudah memenuhi keinginan kami,” ujar Ismanu.

Tentu, Ismanu menilai kebijakan tersebut sangat tepat untuk membartu para pengusaha rokok dalam menjaga stabilitas produksi.

Selain meminta tidak ada kenaikan tarif cukai rokok, dalam surat dengan tembusan kepada menteri keuangan, Gappri juga menyampaikan beberapa permohonan lain. Misalnya, pemerintah untuk menggalakkan pemberantasan rokok ilegal, melakukan ekstensifikasi barang kena cukai di luar tembakau, dan tidak melakukan simplifikasi tarif cukai rokok yang menggabungkan golongan rokok sigaret kretek mesin (SKM) dengan sigaret putih mesin (SPM).

Gappri menganggap, penyederhanaan layer tarif sama dengan penciutan strata dan bisa mengakibatkan persaingan bisnis tidak sehat. Kebijakan ini tidak sesuai dengan karakteristik industri kretek yang sangat beragam. Ada sekitar 450 pabrik yang memproduksi rokok kretek, mulai golongan besar, menengah, hingga kecil, yang tersebar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dalam catatan Gappri, selama empat tahun belakangan, industri rokok terpukul kenaikan tarif cukai. Maklumlah, sejak awal Pemerintahan Jokowi, tiap tahun tarif cukai rokok selalu naik 10% hingga 15%.

Tahun ini saja, tarif cukai rokok naik 10,04% secara rata-rata, dengan target penerimaan cukai rokok mencapai Rp 148,23 triliun. Target itu meningkat 0,5% dari tahun sebelumnya Rp 147,49 triliun.

Tak pelak, karena tarif cukai tersebut berdampak terhadap penurunan produksi rokok. Selama empat tahun terakhir, rata rata penyusutannya berkisar 1% sampai 2% per tahun. “Tahun lalu, produksi turun sekitar 1%. Tahun ini juga bisa turun, apalagi ekonomi juga agak lesu,” ungkap Ismanu.

Penurunan produksi rokok, Ismanu mengklaim, menyebabkan hampir 50% perusahaan rokok gulung tikar. Akibatnya, penyerapan tenaga kerja di industri ini pun terus menyusut. Info saja, rokok merupakan industri padat karya. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri ini menyerap hingga 6,1 juta tenaga kerja.

Nah, Ismanu berharap, pembatalan kenaikan tarif cukai rokok tahun depan membuat industri ini kembali bergairah. Sebab, penting menjaga stabilitas industri rokok lantaran melibatkan banyak pihak yang juga memengaruhi kesejahteraan masyarakat. “Industri rokok melibatkan banyak sekali pemangku kepentingan, termasuk petani tembakau, cengkeh, dan pekerja,” imbuh dia.

Keputusan pemerintah tidak jadi mengerek tarif cukai rokok lahir dalam sidang kabinet terbatas di Istana Bogor, Jumat (2/11) pekan lalu. “Setelah mendengar seluruh evaluasi dan masukan dari sidang kabinet, maka kami memutuskan cukai tahun 2019 tidak akan ada perubahan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Ismanu juga patut menarik nafas lega karena selain kenaikan tarif cukai, pemerintah juga membatalkan pemberlakuan simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau. Padahal, penyederhanaan layer ini sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Bahkan, pemerintah dan sudah membuat Roadmap Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau 2018-2021. Dalam periode itu, penyederhanaan tarif berturut-turut menjadi 10, 8, 6, dan 5 layer.

Pengusaha minta langsung ke Presiden untuk batalkan kenaikan tarif cukai rokok.

Sumber cukai baru

Askolani, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, menjelaskan, pembatalan, kenaikan tarif cukai rokok merupakan hasil perhitungan pemerintah setelah melihat realisasi penerimaan cukai tahun ini yang kemungkinan besar melampaui target. “Sehingga, pemerintah punya ruang untuk mengambil kebijakan tidak menaikkan cukai,” ujarnya. Selain itu, pemerintah mempertimbangkan iklim investasi, tenaga kerja, dan dunia usaha. Pemerintah tidak menutup mata terhadap kondisi industri rokok yang kinerjanya terdampak kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun belakangan. “Jadi, ada juga pertimbangan untuk menjaga tingkat produksi rokok nasional yang terus turun,” sebut Askolani.

Meski begitu, Askolani menegaskan, tak ada tekanan dari pihak-pihak tertentu yang mendasari kebijakan pembatalan kenaikan tarif cukai rokok tahun depan. “Yang ada hanya masukan-masukan,” tegasnya.

Heru Pambudi, Direktur Jenderal Bea dan Cukai , mengungkapkan, sebelum menetapkan biaya tarif cukai rokok, Kementerian Keuangan sejak Februari lalu melakukan pembicaraan dengan berbagai pihak. Contohnya, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), World Health Organization (WHO) , dan non governmental organization (NGO) .Pemerhati kesehatan termasuk universitas dan akademisi meminta kenaikan tarif setinggi-tingginya

Secara pararel, Kementerian Keuangan juga bicara dengan kelompok yang konsern terhadap keberlangsungan industri rokok, mulai tenaga kerja, pe-modal, industri, petani, hingga orang-orang yang terlibat di dalam industri ini. Mereka semua menyampaikan pendapatnya secara tertulis. Dan, banyak sekali yang meminta tarif cukai serendah-rendahnya.

Dan, Heru memastikan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai siap melaksanakan keputusan pemerintah yang tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau. “Kami mendukung penuh, dari level teknis dan operasional,” kata dia.

Walau tak ada kenaikan tarif, Heru tetap optimistis, target penerimaan cukai tahun depan yang dipatok Rp 165,5 triliun tercapai. Target tersebut tumbuh 6,5% dari outlook tahun ini sebesar Rp 155,5 triliun. Untuk target tahun depan, Rp 158,8 triliun diantaranya merupakan setoran cukai hasil tembakau, yang naik 7,15% dari outlook tahun ini Rp 148,2 triliun.

Deni Surjantoro, Kepala Sub-direktorat Humas Ditjen Bea Cukai bilang, instansinya masih memiliki cara untuk mendulang penerimaan selain dari cukai rokok. Walaupun pendapatan mayoritas dari cukai rokok, ke depan ada beberapa sumber penerimaan cukai baru.

Ambil contoh, pemerintah menetapkan cukai rokok elektrik atau vape menjadi bagian dari Ditjen Bea Cukai. “Hingga Oktober 2018, pendapatan cukai dari vape Rp 100 miliar. Tentunya, ini akan terus naik,” ungkap Deni.

Belum lagi, pemerintah mengkaji penerapan cukai kemasan atau kantong plastik yang kemungkinan berlaku tahun depan dengan potensi penerimaan Rp 500 miliar. Saat ini, pemerintah memang belum mengetuk palu, kapan pungutan cukai kantong plastik bakal resmi berlaku. Deni pun belum bisa memastikan waktu eksekusi kebijakan tersebut. “Tergantung keputusan Kementerian Keuangan,” ujarnya.

Askolani juga belum tahu pasti, kapan penerapan cukai kantong plastik. Yang jelas, Kementerian Keuangan masih terus mematangkan rencana itu. Dan, ia yakin, target penerimaan cukai bisa terpenuhi.

Selain dari objek cukai baru, untuk mendongkrak penerimaan, Ditjen Bea Cukai akan memaksimalkan pengawasan kepatuhan atas setiap penindakan pelanggaran di lapangan. Salah satunya, menekan peredaran rokok ilegal. “Sehingga, saya harus mermperhatikan level playing field dan fair treatment kepada industri rokok yang sudah membayar cukai dengan benar sekaligus menggempur rokok ilegal,” tegas Heru.

Dua tahun lalu, Heru membeberkan, jumlah rokok ilegal mencapai 12,14% dari total batang yang beredar. Sekarang, berdasarkan survei Universitas Gadjah Mada (UGM), rokok ilegal tinggal 7,05%. “Untuk itu, kami berhasil menyelamatkan penerimaan negara sebesar Rp 1,52 triliun dari cukai rokok. Itu besar sekali,” tambahnya.

Dengan pencapaian ini, Heru menyebutkan, Ditjen Bea Cukai bisa memberikan keyakinan kepada pelaku usaha yang legal, bahwa mereka ada kepastian untuk berusaha. Dan, ini terbukti, karena produksi rokok yang legal terus naik. Targetnya, peredaran rokok ilegal tahun depan tinggal 3%.

Berat Kejar Target

Kendati akan ada upaya ekstra Ditjen Bea Cukai dalam pengumpulan cukai, Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menilai, target penerimaan tahun depan tetap sulit dicapai. “Tanpa kenaikan tarif, memang akan berat, karena simplifikasi juga ditunda dan tidak ada ekstensifikasi. Padahal, naik moderat saja, 8%-10%, industri juga tidak masalah. Apalagi, yang naik tidak semua kelompok tarif,” ujarnya.

Memang, ada sumber cukai baru dari vape dan kantong plastik, tapi penerimaannya tidak cukup signifikan karena tak akan lebih dari Rp 1 triliun. Dia pun menyarankan supaya pemerintah menurunkan target penerimaan cukai 2019.

Menurut Bawono Kristiaji, pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center,, untuk mendorong penerimaan cukai, mau tidak mau konsumsi rokok harus naik. Nah, karena tarif cukainya tetap, kemungkinan produksi dan permintaan tembakau bisa meningkat, sehingga penerimaan masih berpotensi tumbuh.

Di sisi lain, Faisal Basri, pengamat ekonomi, menyayangkan keputusan pemerintah yang urung mengerek tarif cukai rokok. Sebab, beban yang timbul akibat rokok jauh lebih besar ketimbang dampak ekonominya. Misalnya, manfaat bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Belum lama ini pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur pemanfaatan cukai rokok untuk menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan. Kata Faisal, justru rokok yang membuat pengeluaran BPJS Kesehatan menjadi besar. Sebanyak 30% beban BPJS Kesehatan untuk pengobatan penyakit akibat rokok.

“Pengeluaran BPJS semakin kecil bila pengguna rokok semakin dikit,” sebutnya.

Rokok juga menyebabkan banyak masyarakat miskin tidak bisa keluar dari jerat kemiskinan. Habis, pengeluaran masyarakat untuk rokok mencapai 10% dari pendapatan.

Sumber: tabloid kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only