Perang AS-China disebut menjadi penyebab utama buruknya kinerja ekspor Indonesia. Akibat kebijakan Trump, sejumlah negara turut menerapkan proteksi berlebihan terhadap produk dari Indonesia, untuk menjaga nilai tukar mata uang terhadap dolar Amerika.
Pengamat Ekonomi Indef Bhima Yudhistira Adinegara mengungkapkan, India menerapkan bea masuk di atas 50 persen untuk produk CPO asal Indonesia. Tidak hanya India, negara Uni Eropa juga menerapkan aturan ketat untuk produk minyak nabati Indonesia.
“Padahal ekspor CPO berkontribusi 15% dari total ekspor non migas,” ungkap Bhima, dalam acara diskusi Potensi Ekspor di Tengah Pelemahan Rupiah yang digelar Forum Warta Pena di Puri Denpasar Hotel, Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Menurut Bhima, ada beberapa solusi bagi pemerintah agar dapat meningkatkan nilai ekspor di tengah persoalan global dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dengan memberikan pelonggaran setiap pungutan. Khususnya ekspor CPO diturunkan menjadi US$ 15-20 per ton, dan memperluas pasar baru seperti Afrika Tengah, Eropa Timur, dan Rusia.
Untuk kendala logistik, pemerintah bisa memberikan keringanan pajak (tax holiday) untuk forwarder atau jasa ekspor dari Indonesia ke Afrika misalnya. Sejauh ini pemerintah sudah banyak memberikan insentif berupa tax holiday dan tax allowances. Sayangnya, insentif yang diberikan terlalu umum tidak menyasar kebutuhan sektoral yang spesifik.
Problem lain ada pada proses perizinan dan insentif fiskal yang belum terintegrasi, serta lamanya pengurusan pajak bagi para pelaku usaha termasuk eksportir. Penyebabnya belum terintegrasinya masing-masing kementerian terkait dalam memberikan kemudahan bagi para eksportir.
Terkait masalah pajak, Bhima mengatakan, peringkat kemudahan membayar pajak dalam EODB Indonesia berada diperingkat 112 dibawah Malaysia 72 dan Thailand 59. Hal itu tergambar jelas para pelaku usaha eksportir membutuhkan 200 jam untuk mengisi formulir Restitusi perpajakan. Ini yang membuat minat eksportir dan pelaku usaha mengambil insentif fiskal akhirnya berkurang.
Di tempat yang sama, Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Hadi Joewono mengatakan, salah satu upaya untuk mendorong nilai ekspor dengan memasuki pasar baru ekspor. Ekspor ini bisa dilakukan perusahaan besar maupun UKM.
Untuk industri atau perusahaan besar sangat bermanfaat diberikan insentif pajak termasuk tax holiday. Namun untuk peruasahaan kecil dan UKM yang dibutuhkan adalah dorongan untuk memulai ekspor dan mengefektifkan fasilitas pembayaran ekspor.
Cara lain juga perlu dilakukan pemerintah agar pasar ekspor bisa tumbuh, adalah dengan peningkatan daya beli masyarakat. Upaya menggairahkan dunia usaha berarti mendorong pertambahan omset penjualan dengan peningkatan daya beli masyarakat untuk produk yang dijual di dalam negeri.
Sementara Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi optimis tahun ini produksi minyak sawit diperkirakan mencapai 42 juta ton dimana 31 juta ton diantaranya terserap di pasar ekspor. Namun, diakuinya munculnya kampanye negatif dari negara produsen minyak nabati menjadi salah satu kendala ekspor bagi produsen dalam negeri.
“Industri sawit nasional perlu terus meningkatkan daya saing yang kompetitif dengan industri hilir Malaysia,” ujar Tofan.
Sumber: wartaekonomi.co.id
Leave a Reply