Butuh Dorongan Investasi-Ekspor, Pemerintah Godok Aturan Baru

JAKARTA – Pertumbuhan investasi dan ekspor sedang melambat. Hal itu terlihat dari investasi pada kuartal III 2018 yang realisasinya Rp173,8 triliun. Angka itu turun 1,6 persen dibanding realisasi kuartal III 2017 yang Rp176,6 triliun. Pertumbuhan ekspor mengalami hal yang sama.

Pada kuartal III 2018, pertumbuhan ekspor tercatat 7,52 persen. Angka itu menyusut dibandingkan pertumbuhan pada kuartal III 2017 yang 17,01 persen. ’’Ekonomi kita memang sedang butuh banyak trigger. Investasi kita butuh dorongan dari sisi pajak, terutama yang berorientasi ke ekspor,” jelas ekonom BCA David Sumual kemarin (12/11).

Menurunnya peringkat kemudahan berusaha atau ease of doing business (EODB) Indonesia dari peringkat 72 ke 73 menjadi pertanda bahwa ada yang harus diubah. Pemerintah sendiri sudah memberikan insentif. Di antaranya, pemberian fasilitas tax holiday hingga 20 tahun bagi investasi di atas Rp30 triliun. Pemerintah juga sudah memudahkan pengusaha yang berorientasi ekspor untuk mendapatkan pembiayaan dari Indonesia Eximbank.

Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menambahkan, sebaiknya pemerintah memberikan aturan pajak baru yang lebih memudahkan investasi di hilir migas. Sebab, selama ini investasi di sektor migas masih sulit tumbuh karena fasilitas tax holiday baru diberikan untuk investor di hulu.

’’Harapannya, kalau mulai hulu, middle, hilir, semua dapat fasilitas yang menarik, kita bisa mengurangi impor migas. Bahkan mendorong ekspor lebih banyak,” katanya.

Saat ini, pemerintah masih menggodok aturan baru terkait daftar negatif investasi (DNI) dan devisa hasil ekspor (DHE). Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, Indonesia sebenarnya telah mendapatkan tambahan investasi asing di pasar surat utang dan pasar modal.

Namun, investasi langsung di sektor riil dan ekspor masih sulit. ’’Kita ekspornya memang yang belum maksimal. Sementara kita dalam menghadapi transaksi berjalan yang defisit kan harus memperhatikan neraca modal dan finansial,” ujarnya.

Mengenai ekspor, Darmin menyebut perlambatan yang dialami Indonesia lebih disebabkan pertumbuhan ekonomi dan investasi global yang melambat. Di samping itu, faktor perang dagang masih membayangi pasar ekspor, terutama pasar ekspor tradisional yang selama ini berkontribusi besar pada kinerja ekspor.

Sementara itu, daya beli minyak sawit oleh negara pengimpor masih menunjukkan pelemahan sampai September 2018. Alhasil, ekspor minyak sawit Indonesia termasuk biodiesel dan oleochemical tercatat menurun 3 persen menjadi 3,2 juta ton pada September.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono menyebutkan, rendahnya harga CPO global tidak menjadi magnet kuat bagi negara impor. Sebab, harga minyak nabati lain juga murah, terutama kedelai dan biji bunga matahari.

”Harga kedelai sendiri jatuh hingga berada pada level terendah sejak 2007. Eskalasi perang dagang antara Tiongkok dan AS mempunyai andil besar dalam memengaruhi harga kedelai,” jelasnya kemarin.

Mukti melanjutkan, pasar minyak sawit tidak bergeliat meski harga sedang murah. Sebab, salah satu negara penghasil kedelai terbesar, yaitu Argentina, juga mengambil tindakan dengan mengurangi pajak ekspor guna menarik pembeli.

”Produksi minyak sawit yang meningkat, terutama di Indonesia dan Malaysia, memperburuk situasi sehingga stok menumpuk,” tambahnya.

Sepanjang September 2018, volume ekspor minyak sawit Indonesia (CPO dan turunannya) tidak termasuk oleochemical dan biodiesel hanya 2,99 juta ton. Angka itu mengalami stagnasi dibandingkan bulan sebelumnya dengan kecenderungan menurun. Secara year-on-year, kinerja ekspor minyak sawit pada Januari–September 2018 menurun 1 persen menjadi 22,95 juta ton.

 

Sumber : radartegal.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only