BKF: Insentif penurunan pajak untuk produsen batubara kakap berlaku 2019

JAKARTA. Selain telah merancang revisi keenam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 terkait dengan pengalihan status dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pemerintah juga tengah menggarap peraturan tentang penerimaan negara dari bidang usaha batubara.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, saat ini untuk IUPK di subsektor mineral, telah ada payung hukum berupa PP Nomor 37 Tahun 2018 tentang perlakuan perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang usaha pertambangan mineral. Namun, untuk bidang usaha pertambangan batubara, belum memiliki peraturan yang serupa. “Ya nanti kita lihat, yang jelas (PP No.37/2018) itu kan baru untuk mineral, yang batubara belum,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (13/11).

Berdasarkan draf usulan yang Kontan.co.id  terima, dalam PP tersebut, nantinya PKP2B hanya akan membayar PPh Badan sebesar 25% dari yang sebelumnya 45%. Namun, penurunan PPh Badan itu diikuti dengan kenaikan Dana Hasil Batu Bara (DHPB) dari 13,5% menjadi 15? dan tambahan pajak 10% dari laba bersih. Adapun, pembagian PNBP pusat seebsar 4% laba bersih, dan bagian Pemda 6% laba bersih.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Rofianto Kurniawan tak menampik bahwa pembahasan yang saat ini tengah dilakukan adalah seputar PPh, pajak dari 10% laba bersih, juga mengenai DHPB.

Namun, ia bilang, saat ini angka dari sejumlah poin itu belum pasti, lantaran masih dalam proses pembahasan dengan sejumlah kementerian dan lembaga (k/l) terkait.

“Usulan dari ESDM, mereka yang menginginkan ada pengaturan tersebut. Poin-poin itu yang masih dibicarakan bersama antar kementerian dan lembaga, termasuk kira-kira penerimaan para pengusaha juga seperti apa, masih kita cocokan. Angkanya juga masih didiskusikan,” terang Rofianto.

Menurut Rofianto, saat ini pembahasan ini melibatkan lintas kementerian, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum dan HAM, juga Sekretariat Negara. Harapannya, PP ini bisa selesai berbarengan dengan revisi keenam dari PP Nomor 23/2010 yang ditargetkan selesai pada bulan ini. Meskipun untuk pelaksanaannya, ia menyebut baru bisa efektif pada tahun 2019 mendatang.

“Ya, khusus untuk perusahaan batubara. Kita upayakan 2018 ini selesai peraturannya. Pelaksanaannya mudah-mudahan bisa berjalan di 2019,” imbuhnya.

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi berpendapat, adanya revisi keenam PP No.23/2010 dan akan diterbitkannya PP yang mengatur perpajakan usaha batubara, merupakan langkah yang realistis untuk menjamin kepastian investasi di sub sektor ini. Sehingga, kata Fahmy, PP mengenai perpajakan usha batubara dan perubahan PP No.23/2010 adalah dua hal yang tak terpisahkan, untuk membuat iklim usaha batubara yang lebih investment friendly.

Adapun, mengenai sejumlah angka dan poin dalam draft PP tersebut, Fahmy menilai bahwa perubahan tarif pajak itu relatif lebih adil diterapkan bagi perusahaan. Namun, di sisi lain, perubahan itu tidak menurunkan penerimaan pajak Pemerintah lantaran ada kenaikan tarif DHPB dan penambahan pajak terhadap laba bersih.

“Memang pajak badan PPh turun, menguntungkan investor, tapi ada tambahan pajak dari laba bersih. Kalau laba bersih meningkat, perolehan pajak juga akan meningkat. Bisa disebut mutual benefit,” jelas Fahmy.

Di sisi lain, sebagai bagian dari PKP2B generasi pertama yang bersiap untuk menjadi IUPK, PT Adaro Energy dan PT Kideco Jaya Agung mengaku siap untuk mengikuti aturan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah. Namun, keduanya berharap agar regulasi yang akan diluncurkan ini tetap mempertimbangkan dinamika industri batubara.

“Kami berharap agar regulasi di industri batubara dapat membuat perusahaan-perusahaan nasional seperti Adaro tetap bisa eksis,” kata Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk Febrianti Nadira.

Sementara menurut Managing Director & CEO Indika Energy Azis Armand, supaya kepastian dan persaingan usaha dapat berlangsung secara sehat, ia berharap agar penerapan dari kebijakan ini akan berlaku merata bagi semua pelaku usaha.

Namun, Azis masih enggan berkomentar lebih lanjut hingga peraturan ini benar-benar telah diberlakukan, termasuk soal perpanjangan kontrak dan pergantian status Kideco Jaya Agung dari PKP2B menjadi IUPK. “Saat ini masih terlalu dini untuk membicarakan langkah konkrit, juga mengenai perpanjangan perjanjian atau konversi menjadi izin,” ujarnya.

 

Sumber : kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only