Jokowi Rilis Paket Kebijakan, Penerimaan Pajak Bakal Berkurang?

Jakarta – Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Jumat pekan lalu menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi XVI. Namun dalam penerapan paket kebijakan yang mencakup sejumlah sektor itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov memperkirakan bakal ada potensi penerimaan pajak yang bakal berkurang sebagai dampaknya.

Paket kebijakan ke-16 mencakup perluasan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan Badan (Tax Holiday), relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan peningkatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) hasil sumber daya alam.

Terkait insentif tax holiday untuk PPh Badan, menurut Abra, sebetulnya bukan hal baru yang dikeluarkan pemerintah. Kebijakan insentif pajak yang bisa juga disebut sebagai belanja perpajakan (tax expeditures), punya konsekuensi berupa hilangnya potensi penerimaan pajak.

Merujuk ke hasil estimasi Kementerian Keuangan, potensi penerimaan pajak yang hilang akibat kebijakan tax holiday pada tahun 2016 dan 2017 cukup besar. Jika pada 2016 potensi penerimaan pajak yang hilang mencapai Rp 143,59 triliun, dan bertambah besar menjadi Rp 154,66 triliun di 2017.

Oleh karena itu, Abra berharap pemerintah sudah memiliki sejumlah langkah antisipasi dengan potensi penerimaan pajak yang hilang pada tahun 2019 dan tahun-tahun sesudahnya. Padahal, realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2018 saja baru 71,39 persen dari target.

“Artinya, potensi shortfall pajak akan semakin besar dan pemerintah semakin kewalahan untuk memenuhi kebutuhan anggaran belanja,” kata Abra, akhir pekan lalu. “Konsekuensinya, defisit APBN berpotensi melebar dan akhirnya harus menambah utang baru.”

Selain itu, menurut Abra, pemerintah juga masih punya pekerjaan rumah besar untuk meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia yg masih di level 10-11 persen. Sebab jika tax ratio tidak bisa dinaikkan sampai level 15 persen misalnya, maka Indonesia akan semakin sulit untuk membayar utang dan menyebabkan sustainabilitas fiskal terancam.

Terkait kebijakan relaksasi DNI, menurut Abra pemerintah harusnya terlebih dahulu berdiskusi kepada pihak-pihak terkait (stakeholders) termasuk legislatif mengenai sektor mana saja yang akan dibuka. Jangan sampai sektor-sektor strategis dan vital turut dibuka seperti bandara dan pelabuhan.

Lagi pula, menurut Abra, untuk menarik investor asing tidak cukup hanya dengan membuka DNI. “Tetapi jauh lebih penting adalah iklim investasi yang kondusif terutama permasalahan perizinan, birokrasi, dan korupsi,” kata Abra.

Ketiga, kata Abra, terkait kewajiban menyimpan DHE di sistem keuangan Indonesia (SKI), Abra menilai sebetulnya juga sudah bukan barang baru lagi karena sudah pernah diimbau oleh pemerintah dengan pemberian insentif. “Tantangannya saat ini, apakah pemerintah betul-betul berani menegakkan sanksi kepada setiap perusahaan,” ucapnya.

Perusahaan-perusahaan itu di antaranya bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, yang masih melawan aturan tersebut. “Pemerintah tentunya akan menghadapi ancaman balik berupa penurunan ekspor produk-produk terkait yang berimbas pada tekanan defisit transaksi berjalan dan stabilitas nilai tukar rupiah,” kata Abra.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir sebelumnya mengatakan ada beberapa aturan yang bakal direvisi. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Keuangan 35/PMK.010/2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Revisi ini dilakukan karena adanya penambahan dua sektor usaha dan ada pula dua usaha yang dijadikan satu sektor.

 

Sumber : tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only